Bisa dibilang tak ada sesiapa di gunung ini, prediksi saya meleset. Gunung tercantik ini tak begitu ramai. Ini lanjutan ceritaku tentang pendakian gunung Rinjani, Lombok beberapa bulan silam yang baru bisa aku tuntaskan di kesempatan kali ini. Kami bertiga, berbeda asal dan juga karakter, tetapi kami punya satu impian yang sama, menggapai puncak Rinjani. Bersama!. Dan untuk itulah kami menunda waktu untuk summit sehari dari jadwal yang seharusnya. Buat kami, kebersamaan adalah keharusan, apapun yang kami hadapi di pendakian.
Memang ada beberapa pendaki lain ketika summit, tapi
sepertinya kami tak menemukan mereka lagi ketika kami turun setelah dari
puncak, mungkin mereka memutuskan untuk tak sampai ke puncak karena memang saat
itu cuaca sedang tak bersahabat. Angin sangat kencang bertiup, membuat kami
berjalan terhuyung dan kedinginan. Di atas puncak, hanya ada satu pendaki lokal
dan satu pendaki bule. Begitupun ketika kami telah sampai di Plawangan
Sembalun, hanya ada satu kelompok pendaki yang berasal dari desa kaki gunung
Rinjani yang tentunya sudah hapal dengan trek dan kondisi gunung. Ada juga
beberapa pendaki asal Malaysia yang memilih untuk turun gunung melalui jalur
Sembalun.
Siang, kami membereskan tenda. Kabut menutupi plawangan saat
itu. Kami bertiga bersiap untuk menuruni gunung menuju danau Segara Anak.
Sempat kebingungan kemana trek yang harus kami pilih. Tetapi karena masih ada
pendaki lokal, kami manfaatkan untuk bertanya. Yup, kami bertiga memang belum
pernah mendaki gunung ini, tanpa guide dan porter, kami hanya mengandalkan peta
yang ternyata tak bisa kami baca (wkwkwk).
Sepi, hening. Kami menuruni lereng curam berbatu. Beberapa
saat kami bertemu rombongan pendaki lain yang sedang menuju plawangan sembalun.
Dan itu menghilangkan kecemasan , kuatir jalur yang kami lalui bukanlah jalur
yang benar. Kami berjalan pelan dan sepi. Dua sahabat pendaki saya kali ini
ternyata cowok-cowok yang super cool, berbeda dengan teman pendaki yang
biasanya saya ikuti yang super rempong dan emberrrr (seperti bu Anink, bu Fara,
Om Rudy, bu Uni, bu Mayos, pak SSP, pak Andi Rahman, bu Indah wkwkwkwkw ibu2
dan bapak2 PKK itu kalo naik gunung rame, jadi kangennnnnn). Nah, kalo dua
teman saya kali itu, orangnya kaleeemm, sedikit bicara, mungkin pengaruh ganteng
kali yak (ganteng = kalem, ga ganteng = ember ??). sampai-sampai, saya
mengaktifkan music mp3 di ponsel saya. Ini baru pertama kali saya menyetel
music, soalnya hening bangetttt. Ane puter lagu-lagunya Iwan Fals, yang mereka
tebak lagunya Panbers atau grup tahun jadul, lupa ane. Hadohhh, berbeda usia
terasa juga yak masalah selera musiknya….hehehe.
Sepi, sepi, sepi…. Sepi dari kami sendiri begitupun sepinya
pendaki. aku terus menikmati perjalanan karena memang sepanjang jalan view
terhampar luas, kita berada di lereng dengan rerumputan dan beberapa pohon yang
tak rindang. Terlihat ke bawah tebing indah yang tertutup kabut tipis. Dan sore
hari, kami telah sampai di danau yang sangat indah. Danau Segara Anak. Rinjani
!
Tampak beberapa tenda telah berdiri. Ada pendaki dari
Sulawesi Selatan yang menawarkan untuk mendirikan tenda berdampingan, agar
ramai katanya. Karena ada juga satu tenda pendaki asal Jakarta ikut bergabung.
Di sisi lain berdiri tenda pendaki lokal yang sepertinya memang menuju danau
ini untuk memancing. Tampak di sisi danau yang lain, beberapa tenda dari turis
manca, dan ada juga tenda dari stasiun televisi swasta yang sedang melakukan
aktivitas shooting.
Hari sebentar lagi gelap. Kami mendirikan tenda. Tenda kecil
untuk bertiga (kesalahan manajemen pendakian kali ini *hmmm..maksudnya sih biar
ga berat bawanya). Dua teman saya Faris dan Edgar mencari kayu bakar (karena
persediaan spirtus kurang, kesalahan manajemen pendakian yang kedua *maaf
teman-teman *sungkem), sementara saya pergi mencari air minum.
Indahnya Tempat Air Minum di Segara Anak
Kali ini saya buat sub judul yang berbeda, karena memang
membuat saya terpana membahana saat melihatnya. Dua teman saya sedang mencari
kayu bakar (ranting bakar lebih tepatnya), sementara saya membawa botol kosong
untuk mencari air minum. Saat itu ada dua pendaki lokal yang hendak mengambil
air, dan saya ikut dengan mereka. Katanya sih dekat, ternyata memang dekat
(dekat di hati jauh di jarak maksudnya). Menuju air minum ini, saya melewati
sungai jernih. Sungai ini adalah air danau yang meluap, dan membentuk sungai
kecil yang mengalir deras, lengkap dengan ikan-ikannya yang tampak. Setelah
itu, saya melewati rumput setinggi satu meter yang lebat. Tak berapa lama,
terdengar suara riuh air. Air terjun? Yup, air terjun sodara-sodara. Air sungai
tadi, menjadi air terjun yang alami dan indah. Air sungai yang menjadi air
terjun, dan di bagian bawahnya terdapat juga sumber air panas. Komplit indahnya
alam ini. ini Indonesia gan. Bukan Malaysia !
Lantas, dimana sumber air minumnya? Masih jalan lagi, masuk
semak-semak. Dan akhirnya sumber air minum itu saya jumpai. Air minum gratis
yang bersih dan sehat. Sama seperti sumber air di plawangan sembalun. Indahnya
menikmati sajian alam.
***
Saya kembali ke tenda, hari semakin gelap. Ranting hanya
dapat sedikit, karena memang tak banyak pohon di tempat itu. Dan perjuangan menyalakan api untuk memasak
dimulai. Hari mulai gelap, gerimis turun, Faris dan Edgar bergantian meniup
tungku. Terlihat menyedihkan, mengenaskan dan juga mengesankan. Lucu, haha.
Sampai memperihatinkannya kami dibantu oleh pendaki tetangga, dengan memberikan
minyak tanah dan juga ikan segar. Tentang ikan juga punya cerita menggelikan.
Kita sih, maksudnya memancing sendiri di danau, tapi ga dapat-dapat ikannya,
wkwk.
Hari semakin gelap, tetangga sudah menyantap makan malam
dengan lahap dan aroma yang keciuman sampai ke tenda kami. Gerimis tak juga
berhenti. Api tentu semakin sulit dinyalakan. Akhirnya, kami memasak di dalam
tenda dengan persediaan spirtus terakhir kalinya. Kami memasak nasi, lalu
memasak ikan segar yang entah apa nama masakannya.
Sungguh, pendakian kali ini, punya cerita yang berkesan buat
saya. Sangat.
Malam, kami menikmati indahnya danau dari cahaya bulan. Di
dalam tenda, kami kembali beradu kaki dan suara tenggorokan. Untuk menyambut
esok pagi yang tentunya berbeda dari bangun pagi yang biasanya kami lalui
setiap harinya.
Pagi yang indah.
Danau yang indah.
Gunung yang indah.
Dan ada persahaban yang indah
Jadwal hari ini, kami berbegas untuk menuju plawangan
Senaru. Berat rasanya untuk packing ulang. Saya menyarankan untuk pendaki yang
ingin ke tempat ini, sebaiknya meluangkan waktu lebih lama di tempat ini.
sungguh indah.
Ada beberapa waktu yang tersisa, sebelum pukul 10 pagi yang
kami sepakati untuk beranjak dari sini. menikmati danau dengan airnya yang
sangat alami. Aku bertanya pada pendaki lain, kemana jalur yang akan kami lalui
nantinya untuk ke plawangan senaru. Pendaki asal Jakarta yang sudah berulang
kali mendaki Rinjani menunjuk ke arah puncak plawangan. Aku mengiyakan saja,
meski aku tak melihat jelas yang mana yang ia maksud. Kita hanya bermodalkan
mengikuti jalur yang sudah ada, dan berharap ada pendaki lain yang melalui
jalur tersebut.
Kami meninggalkan danau, jalan perlahan seakan berat
meninggalkan indahnya tempat ini. kami menyempatkan sejenak ke air terjun untuk
bernarsis ria. Lalu kami mulai mendaki kembali menuju plawangan Senaru. Dan
inilah anehnya mendaki Rinjani. Sepengalaman saya mendaki, jika sudah dari
puncak gunung, turun gunung yah turun saja, tetapi berbeda dengan Rinjani,
setelah naik gunung melalui jalur Sembalun, kami turun gunung melalui jalur
Senaru. Dari danau, kami kembali harus mendaki. Ya, mendaki. Siapa suruh naik
gunung, capek kan ??
Kami berjalan perlahan, yang di depan menunggu yang di
belakang sampai. Lalu berjalan lagi bersama, hingga yang belakang kembali
tertinggal. Tetapi jarak tak sampai berjauhan. Lelah rasanya menggapai
plawangan senaru. Tak ada tempat bertanya, seberapa lagikah perjalanan ini.
Hari telah siang. Kami tidak membawa bekal nasi, hanya ada
beberapa roti, kurma, cokelat dan snack lainnya. Kami tiba di plawangan senaru.
Plawangan semacam puncak dari lereng gunung. Dari plawangan kami memulai untuk menuruni
gunung. Target kami harus sampai di desa senaru sebelum malam. Turun gunung
kali ini lebih seru, kami berlari kencang seperti banci dikejar pol pepe
(seperti atau memang??). Edgar, tak memakai sandal, dan juga ogah memakai
sepatunya. Kami terus berlari di lereng gunung yang lapang dan hanya ditumbuhi
rerumputan. Hingga ketika kami sampai di pos (lupa pos berapa), hujan turun
dengan derasnya. Hujan tak juga berhenti. Kami memutuskan tetap lanjutkan
perjalanan karena pertimbangan waktu. Kami mengeluarkan jas hujan dan memulai
perjalanan. Kali ini, treknya adalah hutan lebat. Kami berjalan dengan hujan
yang terus mengguyur. Hari semakin gelap, kami tak juga bertemu akhir jalur
pendakian ini. kami mulai menyalakan headlamp. Terus berjalan, dengan hutan tropis
yang sangat lebat. Ada beberapa sumber air di jalur ini. Tak usah kuatir, karena papan petunjuk sumber
air cukup informatif. Kami terus berjalan, hujan telah reda, tetapi hitam malam
semakin pekat.
Sekitar pukul tujuh malam, kami telah sampai di batas
pendakian. Kami telah sampai di desa Senaru. Desa senaru bukanlah desa yang
ramai, juga tak seperti desa kaki gunung seperti umumnya desa di tanah jawa.
Memasuki desa, yang kami temui hanyalah penginapan yang sepertinya bertarif
mahal. Penginapan yang tak rapat antara satu dengan penginapan lainnya. Kami
terus berjalan, setidaknya bisa bertemu warung makan. Tetapi, kami rasa cukup
jauh berjalan, rasanya pemukiman penduduk belum juga kami temukan. Sekali lagi,
kami hanya melalui beberapa penginapan, atau cottage yang dilengkapi dengan
restaurant.
Hingga tiba di suatu penginapan, seorang pelayan penginapan
menyapaku, dan menawarkan kamar hotel. Harga yang ditawarkan tak terlalu mahal
dengan fasilitas kamar mandi dalam, dan ruang kamar yang luas. Penginapan juga
terdapat restaurant, jadi tak perlu susah-susah mencari makan. Meski sebenarnya
aku lebih berharap ada warung makan penduduk lokal.
Aku mengiyakan, tanpa persetujuan Edgar dan Faris terlebih
dahulu. Aku memang berjalan lebih cepat dari mereka, karena aku ingin
cepat-cepat mendapatkan tempat untuk kami beristirahat. Di lain cerita,
ternyata Faris dan Edgar mendapat tawaran travel untuk ke Mataram atau ke kota.
Dari awal kami memang meniatkan untuk bermalam di pantai Kuta, selatan pulau
Lombok. Dari pantai Kuta, kami tinggal melanjutkan perjalanan esoknya ke
bandara internasional Lombok. Sebenarnya, ide tersebut, aku juga yang
memunculkannya, tetapi saat itu perhitungannya adalah, jika kita sampai di desa
Senaru sebelum gelap, sehingga masih ada jeda waktu untuk istirahat. Tetapi,
saat itu kondisinya, kita kemalaman sampai di desa Senaru, dan aku melihat kita
sudah sangat kelelahan, sehingga aku langsung mengambil kamar penginapan saat
itu juga. (maaf ya Faris, maaf ya Edgar, insyaAllah, kita bisa ketemu lagi di
lain kesempatan, saya akan ajak kalian ke pantai bersama, mendirikan tenda di
pasir yang bersih, menghitung bintang sambil tidur-tiduran di pasir pantai dan
berenang pake celana dalam bersama xixixixi)
Kita check in, pesan nasi goreng dan teh manis. Rasanya,
kami seperti baru kembali dari peradaban antah berantah, seperti baru melihat
piring dan sendok garpu, seperti baru melihat seperti inilah layaknya makan
untuk makhluk yang bernama manusia, (halah lebaynya kumat). Setelah makan malam
(rapelan makan pagi dan siang), kami beristirahat di kamar yang bersih.
Mulailah satu persatu mengeluarkan koyo cabe yang ditempel di telapak kaki
wkwkwkwwk. Mari tidur saudara-saudara mudaku, mari kita latihan vocal dalam
lelap tidur kita. zzZZzzzzrokkkkroookkkkkkrookkzzzz…
Pagi di Senaru, kami melanjutan perjalanan menuju Bandara.
Cukup jauh ternyata, dari desa Senaru, kami menggunakan transport ojek untuk ke
pangkalan minibus, setelah itu menuju kota Mataram, dari Mataram lanjut
menggunakan Bus Damri. Siang hari, kami sampai di Bandara. Jadwal keberangkatan
adalah sore hari, masih ada waktu beberapa menit. Edgar dan Faris menyempatkan
untuk ke pasar seni desa Sade untuk membeli oleh-oleh, sementara aku bertugas
menjaga keril di Bandara. Tak beberapa lama, mereka datang dengan membawa nasi
bungkus kuliner khas pulau Lombok (senangnya dibawakan makanan…..). jadwal
keberangkatan sudah tiba, Edgar berangkat terlebih dahulu, sementara aku dan
Faris satu penerbangan menuju Surabaya. Sesampainya di Surabaya, Faris kedatangan
teman dan aku tentu saja bertemu kembali dengan teman yang selalu kujumpai
ketika singgah di kota pahlawan ini. rasanya, saya punya saudara banyak sekali
dan tercecer di seluruh nusantara, saudara beda suku dan beda agama, inilah
Indonesia…
Air Terjun di Danau Segara Anak Rinjani |
Lewat Sungai Ini untuk ke Air Terjun dan Sumber Air Minum |
Semangat Memancing |
Iman - Faris - Edgar di Danau Segara Anak |
ooOoo
Artikel Terkait
salutttttttt.....
BalasHapussmga saya bsa smpai disana jga..ngikut jejak mas imam..Aamiin..hehe
BalasHapusamiin, semoga.
Hapusiman rabinata
wiw, keren beud....
BalasHapusjgn lupa blogwalking ke http://travellingaddict.blogspot.com/
mantep bang
BalasHapusbagus gan
BalasHapusWahh kalo ngedaki gunung Rinjani emang harus wajib ngecamp di tempat ini nih, keren banget bro!
BalasHapusPemandangan Danau Segara luar biasa,subhanallah bagus banget, pengen banget kesana.
BalasHapus