Sabtu, 18 Oktober 2014

Keluarga Salak



Keluarga Salak (Photo by Fitra)



“Pergi dulu mas”, pamitku ke Mas Fakh.
“Oke. Hati-hati”, jawab Mas Fakh.

Aku bergegas meninggalkan rumah kontrakan Mas Fakh di Cilandak, Jakarta. Keril merah sudah aku selimuti dengan raincover di punggung. Cuaca sore itu sedang hujan. Meski begitu aku tetap berjalan untuk sebuah janji. Janji bertemu teman-teman pendaki di Terminal Kampung Rambutan Jakarta. Sendiri aku meninggalkan pemukiman padat dengan jalan-jalan sempit di setiap sisi rumah. Kemudian mampir sejenak di Mini Market untuk melengkapi perbekalan logistik pendakian.


Bis menuju terminal sudah terlihat. Seperti biasa, bis sudah dijejali kaum urban yang mencari peruntungan di ibukota. Beruntung masih tersisa kursi di bagian belakang bis, sehingga aku masih bisa duduk nyaman hingga sampai terminal.


Mereka berdesak
Mereka terdesak
Untuk bertahan hidup
Mereka biarkan tubuh terjamah


Meet point yang disepakati adalah halaman masjid terminal. Aku ternyata lebih dulu sampai. Ada dua orang pendaki juga yang terlihat malam itu. Berkenalan sejenak, ternyata mereka ingin mendaki Gunung Cikuray di Kabupaten Garut.


Tak beberapa lama, satu persatu makhluk yang ditunggu tiba. Setelah lengkap semua, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang sebuah bis.


Pendakian kali ini aku namakan Keluarga Salak. Mengapa keluarga salak?, karena di pendakian kali ini, anggota team (sembilan orang dengan daerah asal Jabodetabek, Bandung) adalah teman-teman pendaki yang sudah pernah mendaki bersama di beberapa kesempatan sebelumnya. Diantara kami sudah saling mengenal satu sama lain, sudah seperti sebuah keluarga. Keluarga Salak, satu keluarga pendaki yang menuju Gunung Salak.


Bis yang kami tumpangi berhenti di sebuah kota kecil. Selanjutnya perjalanan diteruskan dengan menumpang angkutan kota menuju persimpangan. Karena ini pendakian keluarga, aku terus terang tidak mencatat dan merekam dimana dan apa nama tempat yang aku lalui saat itu. Setahu aku, jalur yang kami pilih saat itu adalah jalur Cimelati, Kabupaten Sukabumi.


Sampai di persimpangan jalan, kami diturunkan supir angkot dengan alasan kendaraannya tidak kuat untuk sampai ke titik awal pendakian. Kami mengalah, dan akhirnya keluar dari angkot. Dini hari, di persimpangan kota kecil. Setelah kami keluar dari angkot, dua orang ojek menghampiri dengan menawarkan jasanya untuk mengantarkan kami menuju gerbang pendakian. Ada insiden sedikit saat itu. Sebenarnya pada saat yang sama, kami menawar supir mobil pick-up yang sedang melintas. Dengan maksud ingin menumpang atas pertimbangan lebih irit dan bisa memuat semua, tiba-tiba salah satu ojek menghampiri dan dengan nada mengancam bahwa di jalan ini hanya bisa dilalui dengan menggunakan jasa ojek. Si mobil pick-up berlalu, dan akhirnya sebagian kami menggunakan jasa ojek tersebut.


Karena ojek hanya ada tiga unit, maka empat orang selainnya termasuk saya memilih berjalan kaki. Sementara Mas Rudy dan Dea sudah tiba di gerbang pendakian karena mereka membawa kendaraan sendiri dari arah Kota Bandung.


Berjalan di saat orang-orang tengah tidur pulas itu terkadang melintas di benak untuk apa berlelah-lelah seperti ini. Sekelebat pemikirian seperti itu juga sering muncul ketika sedang summit attack di setiap pendakian. Memang sulit mendefinisikan secara jelas alasannya, mungkin hobby, atau apa, yang jelas ini semua harus dilalui.


Anjing menyalak
Seolah kami segerombol penjahat
Ketika sebagian manusia bermunajah
Di sepertiga malam kami berteman lelah


Selang satu jam, akhirnya kami berempat sampai di gerbang pendakian. Dini hari, tentu saja masih gelap. Mas Rudy dan Dea memilihi tidur di dalam kendaraan yang diparkir di depan pos jaga. Sementara kami bertujuh orang ini, memilih menggelar matras di teras pos jaga yang hanya selebar badan badak berbadan dua.


Masih ada waktu beberapa saat sebelum subuhan. Waktu yang tak banyak tentu harus kami gunakan secermat mungkin untuk mengumpulkan energi pendakian paginya. Matras digelar sambil menyapa si pak satpam yang sedang berjaga.


Belum juga tidur, tiba-tiba  pak satpam memberikan warning bahwa kami hanya boleh menginap di emperan mereka maksimal satu jam. Setelah itu harus enyah.
“Ggrrrrr…. hanya  menumpang ngemper saja tidak boleh dengan alasan aturan perusahaan perkebunan”, gerutuku sendiri.
Akhirnya kami memutuskan berbenah dan mencari masjid terdekat.


Masjid ditemukan, kami kembali meluruskan punggung di lantai. Sekali lagi, pertanyaan itu muncul. Untuk apa memilih tidur di tempat yang tak semestinya. Ah, aku tak mau menjawabnya saat itu. Yang aku lakukan adalah mengusir nyamuk kebun yang sedang bergerilya santap sahur melihat kami sedang berbanjar di teras masjid.


Shalat subuh ditunaikan. Ba’da itu kami bersiap untuk melakukan pendakian. Masjid di tengah kebun ini sungguh indah. Bangunan dua lantai dengan kamar mandi layaknya sebuah hotel lengkap dengan taman bunga di halaman depan, membuat masjid ini terasa sangat nyaman. Hanya ada beberapa rumah di sekitar masjid ini, tak ada warung nasi ataupun toko sembako. Untuk perlengkapan logistik, kami memang sudah melengkapinya. Akan tetapi untuk sarapan pagi dan bekal makan siang, kami harus mencari warung nasi di sekitar tempat ini.


Akhirnya, ibu yang rumahnya berada di samping masjid ini bersedia menyediakan sarapan dan juga bekal untuk makan siang.


Setelah semua siap, pendakian dimulai. Gerbang pendakian dimana terdapat pos jaga itu adalah perkebunan milik perusahaan. Jalur ini sebenarnya bukan jalur pendakian yang resmi. Untuk menuju puncak Gunung Salak, memang terdapat beberapa alternatif pendakian, dan team kami memilih jalur ini sebagai jalur pendakian begitu juga untuk turunnya.


Di awal pendakian, yang terlihat di kiri kanan jalan adalah kebun tomat dan cabe. Sungguh indah dan asri. Memang di hampir semua pendakian, kita akan selalu disuguhkan oleh pemandangan perkebunan yang memanjakan mata dan membunyikan periuk perut. Kami terus berjalan hingga sampai di akhir jalan beraspal dan memasuki area hutan.


Tidak ada pemandangan yang luas sepanjang jalur menuju puncak. Gunung Salak memang tidak setinggi Gunung Semeru atau Pangrango, dengan ketinggian ‘hanya’ 2.211 mdpl, gunung ini tidak memiliki varian pemandangan di sepanjangan jalurnya. Hanya hutan hujan tropis khas daerah khatulistiwa. Sumber air mudah ditemukan di beberapa pos dan dengan kerapatan vegetasi yang begitu tebal membuat sinar matahari tak bisa menerobos tanah di sepanjang jalur ini. Hasilnya, meski sedang berada di bulan yang dengan intensitas hujan rendah, jalur pendakian ini tetap saja becek.


Lensa kamera sepertinya betah berlama-lama di dalam pembungkusnya. Bukan tak ada hal yang menarik sepanjang perjalanan, hanya saja aku lebih suka menikmati perjalanan ini tanpa ‘gangguan’, dan merekam semuanya lewat memori saja. Hanya beberapa kali saja kami mengambil gambar, itupun disaat istirahat sejenak dan juga saat makan siang.


Sebagian mengandalkan lensa untuk mengingat
Sebagian hanya mengandalkan daya ingat
Memori
Kadang untuk dikenang
Kadang untuk dilupakan


Target mencapai puncak sebelum sore kami penuhi. Gunung Salak memiliki jalur yang bisa membingunkan, karena rapatnya tumbuhan hutan. Saat itu, kami juga bertemu satu team pendaki lain yang berasal dari Kota Bandung. Sekelompok pria muda yang masih kuliah, mereka terlihat memiliki stamina yang prima. Mereka berjalan lebih dulu ketika kami sama-sama sedang istirahat makan siang. Akan tetapi anehnya, ketika kami telah sampai di Puncak Satu Gunung Salak, mereka tidak terlihat.


Kami mendirikan tiga tenda. Tak beberapa lama, hujan turun dengan derasnya. Kami memilih bermain kartu uno di dalam tenda. Ini kali pertama aku ikutan bermain kartu, dan hasilnya cukup memuaskan.


Hari semakin gelap, sesekali aku menajamkan telinga menungg kedatangan pendaki tetangga. Kuatir tentu saja ada, mengapa mereka belum juga tiba sedangkan mereka berjalan di depan rombongan kami sejak siang.


Jalur yang dikenal menyesatkan beberapa pendaki, membuat sesekali imajinasi mengarah ke hal-hal yang tidak baik. Aku tepis, dan berharap mereka baik-baik saja.


Hujan semakin deras
Sementara gelap menguasai tatap
Pendaki muda tak kunjung terlihat
Semoga mereka tetap selamat


Tak beberapa lama, suara gaduh beraduh. Mereka terlihat percepat gerak karena hujan yang melebat. Mereka tersesat. Berita itu yang akhirnya kudapat. Hingga ke puncak, vegetasi memang rapat. Jika tak akurat bisa membuat langkah tersesat.


Syukurlah mereka telah sampai di puncak. Dalam kondisi hujan dan hari yang telah gelap, mereka berjibaku mendirikan tenda dan berteduh di dalamnya.


Hujan semakin deras, satu tenda kami tak sanggup menerima siram air langit saat itu. Bocor, satu tenda harus berjuang membersihkan air yang merengsek masuk. Setelah semuanya bisa diatasi, makan malampun berganti latihan vocal di malam hari (baca ngorok). Zzzzz……


Pagi di puncak Gunung Salak. Nothing special dengan pemandangannya. Akan tetapi, sekali lagi ini bukan tentang mencari view yang indah. Mendaki gunung tetaplah hanya mendaki gunung, tak ada terjemahan lain ataupun multi tafsir lainnya. Mendaki, ya mendaki gunung. Berada di puncak, lalu turun.


Puncak gunung ini cukup luas. Masih terlihat beberapa pohon dan juga tanaman buah murbei. Terdapat sebuah makam juga di sana, dan terlihat beberapa peziarah lengkap dengan pakaian ala pendemo FPI yang sedang bertakziyah. Sementara di sisi baratnya adalah dinding tebing tinggi tempat dimana pesawat udara Sukhoi menabrak dan menewaskan seluruh penumpangnya dua tahun silam.


Kami menikmati pagi sejenak dari puncak gunung ini. Berphoto seperti biasa, lalu menyiapkan makanan pagi. Setelah dirasa cukup, kami berkemas membereskan tenda lalu beranjak turun kembali.


Begitu simple bukan? mendaki gunung.
Mendaki lalu turun kembali.


Sekian dulu cerita pendakian kali ini. Sampai bertemu di cerita perjalanan selanjutnya.

***

 Gallery Photo :

Bismillah, mulai mendaki





Kebun Tomat


Megahnya Vegetasi Salak

Anink dan Indah

Masjid di Gerbang Pendakian

Artikel Terkait
Comments
2 Comments

2 komentar:

  1. si pramugari gak diceritain :D

    BalasHapus
  2. Cerita si pramugri biar mas fitra saja yang ceritain nanti, xixixi

    imanrabinata

    BalasHapus