Keluarga Salak (Photo by Fitra) |
“Pergi
dulu mas”, pamitku ke Mas Fakh.
“Oke.
Hati-hati”, jawab Mas Fakh.
Aku
bergegas meninggalkan rumah kontrakan Mas Fakh di Cilandak, Jakarta. Keril
merah sudah aku selimuti dengan raincover
di punggung. Cuaca sore itu sedang hujan. Meski begitu aku tetap berjalan untuk
sebuah janji. Janji bertemu teman-teman pendaki di Terminal Kampung Rambutan
Jakarta. Sendiri aku meninggalkan pemukiman padat dengan jalan-jalan sempit di
setiap sisi rumah. Kemudian mampir sejenak di Mini Market untuk melengkapi
perbekalan logistik pendakian.
Bis
menuju terminal sudah terlihat. Seperti biasa, bis sudah dijejali kaum urban
yang mencari peruntungan di ibukota. Beruntung masih tersisa kursi di bagian
belakang bis, sehingga aku masih bisa duduk nyaman hingga sampai terminal.
Mereka berdesak
Mereka terdesak
Untuk bertahan hidup
Mereka biarkan tubuh terjamah
Meet point yang disepakati adalah
halaman masjid terminal. Aku ternyata lebih dulu sampai. Ada dua orang pendaki
juga yang terlihat malam itu. Berkenalan sejenak, ternyata mereka ingin mendaki
Gunung Cikuray di Kabupaten Garut.
Tak
beberapa lama, satu persatu makhluk yang ditunggu tiba. Setelah lengkap semua,
perjalanan dilanjutkan dengan menumpang sebuah bis.
Pendakian
kali ini aku namakan Keluarga Salak. Mengapa keluarga salak?, karena di
pendakian kali ini, anggota team (sembilan orang dengan daerah asal
Jabodetabek, Bandung) adalah teman-teman pendaki yang sudah pernah mendaki
bersama di beberapa kesempatan sebelumnya. Diantara kami sudah saling mengenal
satu sama lain, sudah seperti sebuah keluarga. Keluarga Salak, satu keluarga
pendaki yang menuju Gunung Salak.
Bis
yang kami tumpangi berhenti di sebuah kota kecil. Selanjutnya perjalanan
diteruskan dengan menumpang angkutan kota menuju persimpangan. Karena ini
pendakian keluarga, aku terus terang tidak mencatat dan merekam dimana dan apa
nama tempat yang aku lalui saat itu. Setahu aku, jalur yang kami pilih saat itu
adalah jalur Cimelati, Kabupaten Sukabumi.
Sampai
di persimpangan jalan, kami diturunkan supir angkot dengan alasan kendaraannya
tidak kuat untuk sampai ke titik awal pendakian. Kami mengalah, dan akhirnya
keluar dari angkot. Dini hari, di persimpangan kota kecil. Setelah kami keluar
dari angkot, dua orang ojek menghampiri dengan menawarkan jasanya untuk
mengantarkan kami menuju gerbang pendakian. Ada insiden sedikit saat itu.
Sebenarnya pada saat yang sama, kami menawar supir mobil pick-up yang sedang
melintas. Dengan maksud ingin menumpang atas pertimbangan lebih irit dan bisa
memuat semua, tiba-tiba salah satu ojek menghampiri dan dengan nada mengancam
bahwa di jalan ini hanya bisa dilalui dengan menggunakan jasa ojek. Si mobil
pick-up berlalu, dan akhirnya sebagian kami menggunakan jasa ojek tersebut.
Karena
ojek hanya ada tiga unit, maka empat orang selainnya termasuk saya memilih
berjalan kaki. Sementara Mas Rudy dan Dea sudah tiba di gerbang pendakian
karena mereka membawa kendaraan sendiri dari arah Kota Bandung.
Berjalan
di saat orang-orang tengah tidur pulas itu terkadang melintas di benak untuk
apa berlelah-lelah seperti ini. Sekelebat pemikirian seperti itu juga sering
muncul ketika sedang summit attack di
setiap pendakian. Memang sulit mendefinisikan secara jelas alasannya, mungkin
hobby, atau apa, yang jelas ini semua harus dilalui.
Anjing menyalak
Seolah kami segerombol penjahat
Ketika sebagian manusia bermunajah
Di sepertiga malam kami berteman
lelah
Selang
satu jam, akhirnya kami berempat sampai di gerbang pendakian. Dini hari, tentu
saja masih gelap. Mas Rudy dan Dea memilihi tidur di dalam kendaraan yang
diparkir di depan pos jaga. Sementara kami bertujuh orang ini, memilih
menggelar matras di teras pos jaga yang hanya selebar badan badak berbadan dua.
Masih
ada waktu beberapa saat sebelum subuhan. Waktu yang tak banyak tentu harus kami
gunakan secermat mungkin untuk mengumpulkan energi pendakian paginya. Matras
digelar sambil menyapa si pak satpam yang sedang berjaga.
Belum
juga tidur, tiba-tiba pak satpam
memberikan warning bahwa kami hanya
boleh menginap di emperan mereka maksimal satu jam. Setelah itu harus enyah.
“Ggrrrrr….
hanya menumpang ngemper saja tidak boleh dengan alasan aturan perusahaan perkebunan”,
gerutuku sendiri.
Akhirnya
kami memutuskan berbenah dan mencari masjid terdekat.
Masjid
ditemukan, kami kembali meluruskan punggung di lantai. Sekali lagi, pertanyaan
itu muncul. Untuk apa memilih tidur di tempat yang tak semestinya. Ah, aku tak
mau menjawabnya saat itu. Yang aku lakukan adalah mengusir nyamuk kebun yang
sedang bergerilya santap sahur melihat kami sedang berbanjar di teras masjid.
Shalat
subuh ditunaikan. Ba’da itu kami bersiap untuk melakukan pendakian. Masjid di
tengah kebun ini sungguh indah. Bangunan dua lantai dengan kamar mandi layaknya
sebuah hotel lengkap dengan taman bunga di halaman depan, membuat masjid ini
terasa sangat nyaman. Hanya ada beberapa rumah di sekitar masjid ini, tak ada
warung nasi ataupun toko sembako. Untuk perlengkapan logistik, kami memang
sudah melengkapinya. Akan tetapi untuk sarapan pagi dan bekal makan siang, kami
harus mencari warung nasi di sekitar tempat ini.
Akhirnya,
ibu yang rumahnya berada di samping masjid ini bersedia menyediakan sarapan dan
juga bekal untuk makan siang.
Setelah
semua siap, pendakian dimulai. Gerbang pendakian dimana terdapat pos jaga itu
adalah perkebunan milik perusahaan. Jalur ini sebenarnya bukan jalur pendakian
yang resmi. Untuk menuju puncak Gunung Salak, memang terdapat beberapa
alternatif pendakian, dan team kami memilih jalur ini sebagai jalur pendakian
begitu juga untuk turunnya.
Di
awal pendakian, yang terlihat di kiri kanan jalan adalah kebun tomat dan cabe.
Sungguh indah dan asri. Memang di hampir semua pendakian, kita akan selalu
disuguhkan oleh pemandangan perkebunan yang memanjakan mata dan membunyikan
periuk perut. Kami terus berjalan hingga sampai di akhir jalan beraspal dan
memasuki area hutan.
Tidak
ada pemandangan yang luas sepanjang jalur menuju puncak. Gunung Salak memang
tidak setinggi Gunung Semeru atau Pangrango, dengan ketinggian ‘hanya’ 2.211
mdpl, gunung ini tidak memiliki varian pemandangan di sepanjangan jalurnya.
Hanya hutan hujan tropis khas daerah khatulistiwa. Sumber air mudah ditemukan
di beberapa pos dan dengan kerapatan vegetasi yang begitu tebal membuat sinar
matahari tak bisa menerobos tanah di sepanjang jalur ini. Hasilnya, meski
sedang berada di bulan yang dengan intensitas hujan rendah, jalur pendakian ini
tetap saja becek.
Lensa
kamera sepertinya betah berlama-lama di dalam pembungkusnya. Bukan tak ada hal
yang menarik sepanjang perjalanan, hanya saja aku lebih suka menikmati
perjalanan ini tanpa ‘gangguan’, dan merekam semuanya lewat memori saja. Hanya
beberapa kali saja kami mengambil gambar, itupun disaat istirahat sejenak dan
juga saat makan siang.
Sebagian mengandalkan lensa untuk
mengingat
Sebagian hanya mengandalkan daya
ingat
Memori
Kadang untuk dikenang
Kadang untuk dilupakan
Target
mencapai puncak sebelum sore kami penuhi. Gunung Salak memiliki jalur yang bisa
membingunkan, karena rapatnya tumbuhan hutan. Saat itu, kami juga bertemu satu
team pendaki lain yang berasal dari Kota Bandung. Sekelompok pria muda yang
masih kuliah, mereka terlihat memiliki stamina yang prima. Mereka berjalan
lebih dulu ketika kami sama-sama sedang istirahat makan siang. Akan tetapi
anehnya, ketika kami telah sampai di Puncak Satu Gunung Salak, mereka tidak
terlihat.
Kami
mendirikan tiga tenda. Tak beberapa lama, hujan turun dengan derasnya. Kami
memilih bermain kartu uno di dalam tenda. Ini kali pertama aku ikutan bermain
kartu, dan hasilnya cukup memuaskan.
Hari
semakin gelap, sesekali aku menajamkan telinga menungg kedatangan pendaki
tetangga. Kuatir tentu saja ada, mengapa mereka belum juga tiba sedangkan
mereka berjalan di depan rombongan kami sejak siang.
Jalur
yang dikenal menyesatkan beberapa pendaki, membuat sesekali imajinasi mengarah
ke hal-hal yang tidak baik. Aku tepis, dan berharap mereka baik-baik saja.
Hujan semakin deras
Sementara gelap menguasai tatap
Pendaki muda tak kunjung terlihat
Semoga mereka tetap selamat
Tak
beberapa lama, suara gaduh beraduh. Mereka terlihat percepat gerak karena hujan
yang melebat. Mereka tersesat. Berita itu yang akhirnya kudapat. Hingga ke
puncak, vegetasi memang rapat. Jika tak akurat bisa membuat langkah tersesat.
Syukurlah
mereka telah sampai di puncak. Dalam kondisi hujan dan hari yang telah gelap,
mereka berjibaku mendirikan tenda dan berteduh di dalamnya.
Hujan
semakin deras, satu tenda kami tak sanggup menerima siram air langit saat itu.
Bocor, satu tenda harus berjuang membersihkan air yang merengsek masuk. Setelah
semuanya bisa diatasi, makan malampun berganti latihan vocal di malam hari
(baca ngorok). Zzzzz……
Pagi
di puncak Gunung Salak. Nothing special
dengan pemandangannya. Akan tetapi, sekali lagi ini bukan tentang mencari view yang indah. Mendaki gunung tetaplah
hanya mendaki gunung, tak ada terjemahan lain ataupun multi tafsir lainnya.
Mendaki, ya mendaki gunung. Berada di puncak, lalu turun.
Puncak
gunung ini cukup luas. Masih terlihat beberapa pohon dan juga tanaman buah
murbei. Terdapat sebuah makam juga di sana, dan terlihat beberapa peziarah
lengkap dengan pakaian ala pendemo FPI yang sedang bertakziyah. Sementara di
sisi baratnya adalah dinding tebing tinggi tempat dimana pesawat udara Sukhoi
menabrak dan menewaskan seluruh penumpangnya dua tahun silam.
Kami
menikmati pagi sejenak dari puncak gunung ini. Berphoto seperti biasa, lalu
menyiapkan makanan pagi. Setelah dirasa cukup, kami berkemas membereskan tenda
lalu beranjak turun kembali.
Begitu
simple bukan? mendaki gunung.
Mendaki
lalu turun kembali.
Sekian
dulu cerita pendakian kali ini. Sampai bertemu di cerita perjalanan
selanjutnya.
***
Bismillah, mulai mendaki |
Kebun Tomat |
Megahnya Vegetasi Salak |
Anink dan Indah |
Masjid di Gerbang Pendakian |
Artikel Terkait
si pramugari gak diceritain :D
BalasHapusCerita si pramugri biar mas fitra saja yang ceritain nanti, xixixi
BalasHapusimanrabinata