Speedboat Rute Kota Tarakan - Desa Sekatak |
Kota Tarakan adalah kota pulau yang paling
ramai di propinsi termuda Kalimantan Utara. Kota ini berada di pulau kecil dan
terpisah dari pulau besar borneo. Aku memang berasal dari kota kecil tersebut,
namun saat ini aku bekerja di luar Pulau Tarakan, tepatnya di Desa Sekatak
Buji, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Akses menuju Kota Tarakan dari
hunianku saat ini adalah via sungai dan laut.
Aku dan tentunya warga lainnya kebanyakan
memilih berbelanja bulanan ke Kota Tarakan. Bukan hanya dari desaku saja,
tetapi dari desa-desa lainnya yang berada di tepi-tepi sungai ataupun di
pedalaman kalimantan. Sementara untuk ke kota kabupaten, aksesnya lebih jauh
dan ketersediaan segala kebutuhan masih kurang lengkap dibandingkan dengan Kota
Tarakan.
Dengan segala keterbatasan sarana
transportasi, luputnya pengawasan pemerintah akan keselamatan penumpang membuat
kami terbiasa dengan hal yang demikian. Jalur yang harus kami lalui untuk ke
Pulau Tarakan adalah jalur laut yang rawan perampokan. Ceritaku bertemu
perampok bersenjata api bisa ditemukan di tulisan ini. Kisahku di perjalanan
laut menuju Kota Tarakan juga pernah diwarnai kisah persalinan salah seorang
penumpang di dalam speedboat, alat transportasi laut menuju Kota Tarakan. Dan
kisahku kali ini adalah insiden hampir tenggelam di laut tarakan.
#masihhidup
Sebenarnya berada di kapal dengan kondisi gelombang besar bukanlah hal baru, hanya saja
kali ini kejadiannya di speedboat hanya ada aku dan motoris saja, cuma berdua.
Kalau misalkan di dalam kapal besar dengan penumpang banyak, t’rus kejadian
buruk menimpa (tenggelam), masih akan ada
yang mencari, menurunkan Tim SAR, meliput, memberitakan, setidaknya namaku
dicatat atau ngga mayatku juga ada
yang shoot. Setidaknya meskipun tewas
masih tetap eksis di media massa. Lah
kalau kasusnya seperti kemarin hanya berdua, lantas terjadi kecelakaan,
tenggelam, ngga ada yang tau, ngga ada yang nyari tewas, hanyut hingga
ke samudera atlantik, tidak ditemukan, atau ditemukan tapi tidak bisa diindentifikasi,
t’rus… Ah sudahlah nyeri nulisnya.
Yang jelas sebelum memulai perjalanan, si
motoris juga sudah mengingatkan kalau perjalanan kita akan berhadapan dengan
gelombang.
#Deg
Umumnya perjalanan dari Pulau Tarakan
menuju pedalaman Desa Sekatak Buji dilakukan sekitar jam sebelas hingga jam dua
siang. Hal itu dilakukan untuk menghindari gelombang laut yang biasanya
berkecamuk saat sore hari. Karena si motoris hingga jam setengah tiga sore
belum dapat penumpang, akhirnya ia berlama-lama juga ngetem di Pangkalan Speed
Boat Beringin II,hingga kehadiranku saat itu setidaknya memperkecil kerugiannya
karena tidak ada penumpang.
Cerita si motoris speed boat juga ngenes banget, bayangkan saja untuk
menempuh rute Pulau Tarakan – Sekatak Buji mereka menghabiskan 30 liter bensin
dengan harga dua belas ribu per liter, sementara penumpang yang ada hanya satu
dengan tariff seratus tiga puluh ribu rupiah one way, kapasitas speedboat bisa menampung enam hingga delapan
orang dewasa.
Pos Jaga - Rute Speedboat Tarakan - Sekatak |
Oke, balik ke cerita di tengah lautan
dengan gelombang. Awalnya aku mencoba membiasakan diri dengan bersikap tenang, lempeng dan calm. Sempat berpikir yang tidak-tidak juga saat itu, soalnya ini
cuma berdua di speedboat, kalau tiba-tiba si motoris berbuat tidak senonoh ?….
asusila?…. sodomi?....t’rus dibuang di bakau-bakau??? Ah, sudahlah. Semakin perih membayangkannya.
Aku hanya berusaha menjelek-jelekkan sedikit wajah koreaku, supaya si motoris ngga bernafsu bejat lalu terjadilah hal
memilukan itu.
#berdoa
Ngga, ini serius. Ini di tengah laut. Sudah sore. Hampir tidak ada kapal
atau speedboat lain yang melintas. Kalau benar-benar tenggelam, aku hanya bisa
bertahan berapa menit?.
“Oh Tuhan, jangan sekarang…. “
“Utang rantang di Pak Rustang belum lunas”
Lanjut cerita nih. Masih terombang-ambing. Berharap tidak tenggelam dalam lautan
luka dalam #cikrakhan. Hembusan air laut masuk membasahi tubuh kami. Sudah
biasa, sudah dimaklumi. Sang motoris mengemudi speedboatnya dengan hati-hati.
Langit saat itu berawan pekat. Seperti akan badai. Si motoris sesekali
mengeluh, menyesal katanya berlayar kalau kondisinya demikian. Aku hanya
tersenyum berusaha menguatkan seakan berkata memberikan semangat.
“Ayo kakak, jangan give up. Kakak pasti bisa…!”, sorakku dalam hati.
Ya iyalah aku harus berikan semangat.
Soalnya kalau speedboatnya tenggelam, yang tewas lebih dulu kayaknya aku. Tubuh
semok daging manis tentu akan menjadi rebutan ikan-ikan buntal di lautan. Kembali
aku berusaha tenang sambil sesekali melihat ke samping kanan tempat sang
motoris mengemudikan speedboatnya. Dan tiba-tiba….
Byurrr….
#air laut masuk
#basah seksi
Gas diturunkan sejenak. Sambil mengamati
apa yang barusan terjadi.
“Ya Tuhan, aku belum pernah tandatangan
buku nikah nih….didelay dulu yak”,
doaku paling ngarep
Ternyata speedboat ini tadi nyungsep diantara dinding gelombang.
Sebetulnya hanya beberapa saat kami seakan berada di dalam air laut, tetapi
sang kapal bisa naik lagi. Mungkin karena muatan speedboat saat itu memang
tidak berat, jadi bisa membantu. Bayangkan saja bagaimana kalau saat itu
penumpang speedboat full seperti
biasa, para penumpang yang sedang berbelanja bulanan seperti gerobak satu roda,
rak piring, gentong plastik dan perlengkapan rumah tangga lainnya yang memang
biasa dibeli di Kota Tarakan. Bayangkan saja jika saat itu kejadian terburuk
itu benar-benar terjadi….
Sesekali aku berharap akan ada Ikan
Lumba-Lumba Albino yang kemudian membantuku, menyeretku hingga ke tepi pulau.
Atau ada Poseidon yang akan menyediakan punggungnya untuk aku naiki seperti
yang pernah dilakukan kepada Percy Jackson.
Ah sudahlah…
Aku tak mau terlalu jauh berkhayal, toh saat ini aku masih ada, masih hidup.
Oya tentang Lumba-Lumba Albino di perairan
Pulau Tarakan memang benar adanya. Aku sih
belum pernah lihat, hanya dari beberapa teman yang hobbynya melaut saja yang
membenarkan hal tersebut. Sejauh ini aku hanya pernah melihat Lumba-Lumba jenis
biasa saja. Ingin rasanya mengalokasikan waktu untuk melakukan pembuktian
kebenaran Lumba-Lumba Albino tersebut, tapi tentu saja masih terkendala dengan
biaya. Setidaknya spesies tersebut bisa didokumentasikan dan menjadi daya tarik
wisata kedepannya.
Kembali ke cerita gelombang tadi. Setelah
basah sekujur tubuh, aku mengamankan handphoneku
yang kusimpan di daypack. Masih
bagus, hanya basah beberapa bagian karena air masuk dari resleting daypack.
Handphoneku masih bisa digunakan meski error di bagian media cardnya.
Satu jam lebih berjibaku, akhirnya kami
mulai memasuki kawasan muara sungai. Air sudah tidak seganas tadi. Nafas sudah
bisa dihembuskan teratur. Pantat yang keram sudah bisa diposisikan kembali. Dan
ternyata ada luka di jari tangan kiriku. Sepertinya terkena besi tempat aku
berpegangan, dan baru terasa ketika suasana sudah menjadi baikan. Perih. Sangat
perih luka ini, jauh lebih perih saat menghadiri pesta pernikahan orang yang
pernah kucinta *skip.skip.skip. Saya
hanya membayangkan, andai saja temanku Si Saleh ada bersamaku saat ini, pasti ambeannya
langsung bengkak akibat guncangan gelombang yang menaduk-aduk tadi.
#Bukan hanya tubuh yang diaduk-aduk, tapi
juga perasaan.
Langit masih berawan pekat. Angin bertiup
cepat. Speedboat terus melaju, membawaku menuju negeri yang kurindu.
Satu jam kemudian, sampailah aku di
kediamanan. Bertemu dengan handai taulan, lalu berbagi pengalaman.
Lautan. Pedalaman Kalimantan. Pulau
Tarakan. Seperti inilah yang harus kami lewatkan. Meski demikian, kami tetap menempuhnya,
dengan harapan semoga ada perbaikan di kemudian harinya. Semoga….
***
Tag : PT. Intracawood Mfg
Artikel Terkait
wah serem juga, untung masih selamat... salam kenal dari bandung. cek www.enjoybackpacker.blogspot.com ya :)
BalasHapusHahaha... mantap juga nih tulisan...
BalasHapusBerbagai macam gaya di sampaikan. Ada horor, komedi, pengalaman, pengenalan.. pokoke campur jadi satu. Kayak gado-gado....
Siiip dah. Siap menjadi sang editor kalo perlu bantuan :)
Kocak deh :) , semoga perjalanan kedepanx lebih baik 🙏
BalasHapus