Kamis, 29 September 2016

JATUH


Yang aku ingat, ia seorang kepala keluarga yang sukses. Sukses mengumpulkan materi berlimpah. Jika perempuan pun dikategorikan materi, maka itupun ikut berlimpah. Kesuksesannya kini tak tersisa di penghujung akhir usianya.


Ia kini terbaring lemah tak berdaya. Di rumah dinas. Bukan lagi di rumah-rumah pribadinya yang bertingkat dan berjumlah banyak. Ia direbahkan di ruang tamu, berselimut kain panjang. Berteman minyak angin dan balsam. Sebuah ember dari bekas cat air. Dan sebotol air minum di bekas botol air mineral.


Hilang sudah kemewahan
Hilang sudah kegagahan
Hilang sudah pongah
Hilang sudah kesombongan


***


Yang aku ingat, ia seorang pria muda cosmopolitan. Punya banyak kolega. Dikelilingi tawa dan canda. Ibukota bukan hal mahal buatnya. Gemerlap lampu malam adalah sahabatnya. Ia tak hanya membawa suasana menjadi hidup, tapi menjadikan semuanya menjadi meriah.


Lalu ia terbaring tak berdaya. Tiga bulan lamanya. Bukan lagi di ibukota. Akan tetapi di tanah kelahirannya.


Sakit yang ia derita, membuatnya harus melepas raga. Memisahkan dirinya dari kontrak tubuhnya di dunia. Ia berpulang ke tempat sebenarnya.


***

Yang aku tau, ia seorang wanita yang sukses. Ia baik kepada semua. Ia menjadi pelita bagi banyak pebisnis pemula. Iapun sesungguhnya bukan seorang pebisnis kawakan. Namun semangatnya untuk berbagi sesama, membuatnya ia menjadi panutan meski di usia yang belum seharusnya.


Ia dikenal banyak orang. Iapun membantu banyak orang. Tak hanya di dunia maya, ringan tangannya juga sampai di dunia sebenarnya.


Namun ujian menimpa. Ia ditipu hingga ratusan juta. Ia harus menanggung rupiah yang begitu banyaknya.


Ia tertekan. Seakan belum siap dengan ujian yang Tuhan berikan. Hampir sebulan ia seakan tak percaya. Semua terjadi tanpa diduga.


***
***


Sendirian aku mengayuh pedal sepedaku. Sendirian, di jalur yang belum ada sesorang pegowespun melintasi jalan ini. Jalan Angkutan Kayu perusahaan tempatku bekerja. Hanya ada hutan di kiri kanan jalan, ada beberapa Jakau atau kebun berpindah masyarakat setempat dan embung air di beberapa tempat. Jalan dengan varian tanjakkan serta berbukit, dengan tekstur tanah liat yang licin setelah diguyur hujan semalam. Aku ‘menikmati’ kesendirian menempuh dua puluh delapan kilometer di minggu pagi. Sesekali aku menghempaskan sepedaku melintasi genangan air, ataupun melepaskan tuas rem tangan saat menuruni tanjakkan. Meluncur, sambil mengucap tasbih. Menanjak seraya mengucap takbir. Begitulah kita diajarkan.


Tersisa delapan kilometer lagi aku akan sampai ke hunian. Medan curam akan terlewati sebentar lagi. Aku semakin bersemangat. Turunan kecil ini tak aku antisipasi dengan rem. Aku meluncur deras, tanpa kusadari ada parit kecil tempat jalur air hujan melintas. Sepeda melaju. Tiba-tiba ada bunyi di bagian belakang sepeda. ‘prakkk!!!’


***


Aku masih hafal benar bagaimana aku terjatuh. RD (Rear Mechanic) tak kuat menahan hentakkan, lalu patah. Beberapa ruji roda belakang ikutan patah. Rantai sepeda terlepas lalu melilit rangka belakang sepeda.


Aku melihat lengan sisi kananku. Ada luka lecet. Kulepaskan helmet dari kepalaku, seraya membersihkan pasir dan kotoran di tubuhku.


Sendirian aku di tempat itu. Terjatuh. Terluka. Tak ada sesiapapun. Hanya aku sendiri.


***


Terjatuh
Terluka
Tak ada sesiapapun
Hanya aku sendiri


Empat bait di atas, adalah kejadian biasa yang sering dijadikan ilustrasi dalam mengarungi kehidupan ini. Adakalanya kita terjatuh dan terluka, namun tak ada sesiapapun di sisi kita. Dalam kondisi demikian apakah kita hanya berdiam diri dan menangis. Menyesali mengapa aku memilih jalan ini. Mengapa aku tadi terlalu laju mengayuh pedal sepeda. Harusnya aku begini. Tak semestinya aku tadi begitu. Dan bla, bla, bla. Banyak lagi yang terlintas di hati.


Percuma. Semua sudah terjadi. Yang ada saat itu. Aku sudah terjatuh. Terluka. Seorang diri.


Bolehlah sesaat kita berdiam diri. Menarik napas sesaat. Mengevaluasi kesalahan sejenak. Ucapkan istighfar. Lalu bangkit kembali. Meski sendiri.


***


Sobat pembaca, kita memang pernah terjatuh dan terluka. Tiga kisah yang aku tuliskan di atas adalah kisah yang baru aku dapatkan saat bersilaturahmi beberapa hari lalu. Tiga kisah yang bisa aku definiskan sebagai bagian dari roda kehidupan yang siapa saja bisa mengalaminya.


Saat terjatuh dan terluka seperti itu, yang paling kita harapkan adalah orang-orang yang tadinya ada bersama kita disaat suka, disaat kita sedang berada di gerai tawa, juga hadir saat kita sedang terjatuh dan terluka. Kita memang bukan manja, tetapi adakalanya kehadiran orang yang kita cintai bisa memberikan kekuatan ekstra untuk bisa bangun kembali. Akan tetapi, kenyataan bisa berbicara sebaliknya. Mereka yang tadinya selalu ada di sekitar kita, kini entah kemana.


Pria yang terbaring di usia tuanya itupun tadinya di kelilingi wanita-wanita cantik nan kaya. Ia persunting menjadi pendampingnya yang ke dua, ketiga atau kelima. Melimpah, semelimpah materi yang ia punya saat ia sehat dan muda. Namun apa yang kini ia terima, ia terbaring tanpa mereka.


Begitupun di kisah yang ke dua. Pria muda cosmopolitan dengan sejuta tampilan gaya itupun harus pergi tanpa diiringi orang-orang yang tadinya selalu bersamanya disaat suka. Dengan alasan kuatir dengan penyebaran penyakit yang ia derita, mereka (yang rasanya berat untuk aku tulis sebagai sahabat), entah dimana dan entah kemana.


Sementara di kisah ke tiga. Wanita muda nan sukses dengan bisnis online yang ia punya. Dengan gelaran seminar berkelas yang ia buat. Saat ujian menimpa, tak ada satupun mereka ikut membersihkan nama baiknya. Setidaknya, support dari orang-orang yang tadinya ia curahkan segenap rasa cintanya, bisa membantunya untuk kuat lalu melewati badai ujian dengan semampunya. Ia dihujat, ia dicaci. Ia melewati seorang diri.


***


Begitulah kehidupan. Kitakah yang salah, atau Tuhan sedang memperlihatkan siapa sebenarnya orang-orang yang berada di sekitar kita.


Kita yang salah itu jelas. Kita memang lemah sebagai manusia. Kita ini insan, insan itu artinya pelupa. Kita memang pelupa dan selalu khilaf. Kita hanya mengenal kata sesal pada akhirnya, lalu kata hikmah sekadar untuk menguatkan. Akan tetapi semua sudah terjadi. Kita sudah terjatuh, lalu terluka.


Atau Tuhan sedang memperlihatkan siapa sebenarnya orang-orang yang berada di sekitar kita. Kita memang tak berhak menilai orang lain. Kita memang dilarang untuk berburuk sangka. Dengan alasan itulah, terkadang menjadikan kita sosok yang mudah ditipu oleh kebaikan rupa dan kemanisan lidah orang-orang di sekitar kita.


Sudahlah. Kita sudah terjatuh. Kita sudah terluka. Tak ada gunanya berharap kata-kata positif dari orang yang kita cintai, jika di saat seperti itu mereka toh tidak ada di sisi kita. Yang harus kita lakukan bukannya mengingat kembali kebaikan yang pernah kita berikan. Bukan mengenang seberapa banyak bantuan yang telah kita kucurkan. Bukan menyesali seberapa besar pengorbanan yang telah kita sedekahkan. Akan tetapi yang harus kita lakukan adalah mengevaluasi diri apakah ikhlas benar-benar sukses kita terapkan.



***




Aku duduk di tepi jalan. Memandang Boxer Putih sepedaku yang berantakkan. Semampunya aku perbaiki agar bisa kutuntun kembali. Tanpa alat, kucoba melepaskan lilitan rantai sepeda di roda belakang. Lebih tiga puluh menit berjibaku. Akhirnya sepada ini bisa aku tuntun kembali. Kembali menuju hunianku di sana.


Haus melanda. Panas menyapa. Tanjakkan membuatku mengeluarkan tenaga ekstra. Semua aku jalani seorang diri. Karena memang lintasan ini bukan jalan yang umum dilewati.


Delapan kilometer menuntun sepeda, aku tiba di kediaman. Aku menuju kamar belakang, membersihkan badan menuju ke tempat seseorang. Seseorang yang sedari tadi ada di dalam pikiran. Kuharap keluhku mendapatkan respon kebaikan, kuharap jatuhku bisa ia bangkitkan, kuingin lukaku segera ia sembuhkan. Aku menujunya, menceritakan semuanya. Dengan pakaian yang masih kotor dan luka di bagian kanan aku detailkan semua pengalaman. Aku bersemangat seolah mengharap iba. Aku berkisah seakan meminta belas kasihnya. Aku bercerita seakan berharap peduli darinya.


Tanpa kusangka…


Ia diam saja.
Kemudian tertawa.



ooOoo



Artikel Terkait
Comments
3 Comments

3 komentar:

  1. Begitulah kehidupan. Kitakah yang salah, atau Tuhan sedang memperlihatkan siapa sebenarnya orang-orang yang berada di sekitar kita.

    BalasHapus