Jumat, 22 September 2017

Bala-bala



Pendakian Gunung Slamet (Part 5)






Janji adalah utang.


Kalimat ini sering aku dengar.  Tapi secara khusus ditujukan ke aku adalah hal yang menohok, menikam dan menghujam. Kalimat itu diucapkan kakak perempuanku untukku karena batal menghadiri pernihakan puterinya beberapa waktu lalu. Sulit menjelaskan alasannya, selain menerima saja kekecewaannya. Di hari yang sama, sahabat dekatku semasa SMA menghembuskan napas terakhirnya setelah insiden lakalantas beberapa jam sebelumnya. Dan akupun tak bisa menghadiri pemakamannya.




Seperti halnya hujan

Akupun basah berurai




Aku buka kembali catatan blogku. Bukan di web, tapi di win explorer. Karena maklum saja, net benar-benar limitted edition di sini. Dan tak ingin terulang lagi bahwa janji adalah utang, maka aku berniat tuntaskan cerita Pendakian Gunung Slamet ini, right now.





***




Udah gelap. Aku maghriban dulu.


Dua tenda yang berdiri kami bangun di atas dipan. Dan peralatan masak diletakkan berserak di bagian tengah bertanah gitu aja. Shelternya luas. Meski dinding seng dan atapnya sudah banyak yang berlobang. Meski begitu, inipun sudah yang paling mewah kalau buat tenda di gunung. Gak perlu buat tenda dengan pasang pasak yang kuat dan merapikan peralatan lainnya.




Makan malam, ngobrol bentar trus buat bala-bala.


Bala-bala itu kayak perkedel, atau ote-ote atau tumpuk-tumpuk gitu. Udah instant, tinggal digoreng aja. Kalau mau tambahin sayuran segar biar lebih bernutrisi. Udah bosan ngobrolnya, udah kenyang makannya, si bala-bala tinggal tiga di teflon. Dibiarin aja gitu karena terasa safe buat ditinggalin. Kan di dalam shelter yang ada pintunya. Cuman dirapikan sedikit aja, kami beranjak tidur.




Mas Rudy setenda sama Vicky, aku setenda sama Bang Togi. Padahal aku maunya setenda sama Vicky #eh, tapi ya udah. Barangkali Mas Rudy udah dipesenin sama ibunya Vicky buat jagain anaknya dari pengaruh jahat. Makanya tidurnya dipisah.

Hahaha

#ketawa setan




Tidur lelap.

Bang Togi tetep latian vocal.

Aku juga tanpa sadar.




Alarm bunyi. Kami satu persatu terjaga. Bersiap-siap buat summit ke Slamet. Catet ya gan, ini ritual paling aneh buatku. Bayangin coba, udah jalan berhari-hari mulai dari Kalimantan, lewat sungai, nyebrangin lautan, trus terbang sama Lion, trus nungguin bus, trus jalan darat lagi ke Bandung, trus lanjut lagi ke Jawa Tengah, trus jalan kaki naik gunung seharian, trus tidur. Harusnya enak kan tidur, tapi kami harus bangun lagi, buat jalan lagi, nanjak. Dingin-dingin, gelap-gelap. Ngapain coba? Jangan dicoba. Ketagihan nantinya.




Ya udah, abaikan saja paragraf di atas, alay. Haha.




Then, bersiap summit. Ga usah bawa banyak bekal. Seperlunya saja. Juga ga perlu bawa bala-bala. What! Bala-bala siapa yang makan semalem?

Kenapa sisa satu!




Aku menatap Mas Rudy, Mas Rudy melihat Bang Togi, Bang Togi menggeleng lalu menoleh ke Vicky. Bukan Vicky juga seraya kembali menatapku. Kali ini tatapannya bermuatan negatif, seperti ingin mengungkapkan sesuatu tetapi tabu. Haghaghag, skip.




Tidak ada yang bangun lebih awal buat makan si Bala-bala. Lantas siapa? Tak ada tanda-tanda ada binatang masuk ke shelter ini. Juga tak ada pendaki lain yang nenda di pos ini.


Aneh

Mulai parno.



Jadi pemirsah, sebelum summit dan sambil menyiapkan perlengkapan kami. Mas Rudy dan Bang Togi mengira sekitar jam 2 pagi itu ada beberapa pendaki lain yang nyampe. Karena terdengar jelas suara pendaki yang rame lagi bangun tenda. Tapi karena hal yang begituan pikir mereka biasa aja. Jadi dibiarin aja. Ntar juga besoknya ketemu. Tapi pas udah bangun itu tidak ada tenda lain selain tenda kami saja.


#mengernyitkan dahi

#buat parit lintang di jidad

#horror




Ya udah, ayo bersiap. Mas Rudy mengajak kami agar tidak terlalu membagi waktu untuk hal yang tidak begitu bermafaat. Mungkin saja, pendaki lain yang hanya mampir sebentar lalu lanjutkan perjalanan. Iya, benar juga pikirku. Si bala-bala juga nanti saja dibahas kemana raibnya. Sekarang kami fokus saja untuk mendaki ke puncak. Berempat. Bersahabat. Berkelebat. Berkabut pekat.




Mulai.


Seperti biasa, kalau udah mau nyampe puncak gunung, dan gunungnya hingga di atas tiga ribu meter gitu, tipe tumbuhan yang ada itu yak kecil-kecil. Tanaman perdu katanya, juga jenis lumut. Makin nanjak lebih tinggi makin berasa dinginnya. Makin terasa juga tiupan anginnya, karena makin terbuka medannya. Makin lebih tinggi lagi, tekstur tanahnya akan berubah juga. Hingga tekstur tanah berbatuan bercampur dengan pasir vulkanik. Diinjak merosot, kayak adonan sirtu kalau mau buat rumah beton.




Kalau yang udah biasa naik gunung udah cukup akrab dengan suasana di puncak gunung. Buat yang membaca tulisan ini dan belum pernah naik gunung, suasana puncak itu gersang, berbatuan, dan angin bertiup kencang. Tergantung juga tipe gunungnya seperti apa, kalau gunung yang sedang saya ceritakan ini, Gunung Slamet yang berusan saja ‘batuk-batuk’. Ketinggiannya juga di atas 3000 meter, jadi tipikalnya itu saat akan ke puncak harus berjibaku dengan medan menanjak, berpasir dan berbatu yang mudah longsor.




Satu hal yang berbeda kali ini adalah kabut tebal dan angin kencang.




Bahkan untuk melihat sunrise pun kada bisa cil ay. Jarak dari batas vegetasi hingga top of a mountain, cukup terjal dan panjang. Melelahkan, namun tetap bersemangat. Lucu juga kan naik gunung nanggung ga sampe puncak, jadi meskipun lelah, walaupun badai tetap saja harus tegar menjalaninya. Sama kayak hidup ini gan, meskipun lelah di PHPin, walaupun badai memporakporandakan hati dan perasaanmu, tetap saja kamu harus tegar menjalaninya. Seperti yang sudah aku lalui.


#hattsiiihhh




Finally, nyampek lah kami berempat di puncak. Puncak Gunung Slamet.


Trus apa kalian mengira kami akan berdiri dengan tegak gagah di atas sana. Kemudian membiarkan lensa kamera mengabadikan jejak langkah kaki kami saat itu. Lantas berangkulan lalu ngibar-ngibarin bendere gede begitu? Jika iya, artinya kamu keliru, kamu salah, kamu hoax. #apasih




Jadi, pas udah nyampe di puncak. Kami kebingungan. Mau ngapaian. Itu puncak yang lebarnya sauprit trus anginnya sangat kencang. Berdiri saja sulit rasanya, kuatir ketiup angin kencang lalu terbang hilang entah kemana. Ke hatimu yang tak pernah peka sedikitpun akan pengorbananku. Malah ngelantur lagi. Jadi gini gan, saat itu di puncak, benar-benar kencang anginnya. Hanya bisa berteduh dari bebetuan setinggi udel agar benar-benar bisa bertahan. Angin kencang, kabut tebal. Dibold lagi dah kalimat ini. Angin kencang, kabut tebal. Jadi suasana di puncak saat itu yak sekadar nyampe aja. Nggak berlama-lama seperti puncak gunung sebelumnya. Buka kamera aja lensanya langsung berair gitu. Jadinya mengabadikan momen puncak tak begitu banyak. Tapi kami senang koq, aku terutama. Karena memang sudah tak lagi narsis seperti dahulu kala.


#masa iya

#benar-benar insaf ga narsis lagi




Jadi lah kami berphoto tak bersama. Bergantian. Kawah ga keliatan. Awan-awan kinton ga keliatan. Apa-apa ga keliatan. Hanya wajahmu saja yang tak pernah kuijabkabul tak pernah pudar meski kabut bergelayutan.

Hah.




Aku mengambil waktu sejenak

Di puncak

Membiarkan letih ini bertarung

Bersama mimpi yang tak akan berujung




Bangunlah

Sesekali pijakkan kaki di tanah tertinggi

Bertekadlah

Untuk tak ada lelah dalam badai hidupmu




Bukankah sudah kau lewati keletihan ini wahai diri

Bukankah sudah kau geluti debu dan terjal ini

Lantas mengapa harus ada alasan dalam sebuah pergulatan

Jadilah pemenang bukan pecundang




Menangislah untuk sesuatu yang mahal

Mengadulah saat mereka lelap di sepertiga malam




Gunung Slamet, dengan ketinggian persis 3.428 mdpl berada di Provinsi Jawa Tengah, jalur pendakian yang kami pilih adalah Jalur Bambangan, Desa Kutabawa, Karangreja, Prubalingga. Kami menuntaskan perjalanan ini, tepat di waktu dhuha. Tak ada pendaki lainnya selain kami saja, tak ada pesona cerah mentari pagi, dan tak ada keriuhan menikmati semua ini. Kami hanya berkhidmat seraya berucap, terima kasih Tuhan atas perkenanmu, hingga kami masih Engkau ijinkan mentadabburi ayat-ayat kauniyahmu. Di sini, di salah satu puncak tertinggi di pulau ini.




***



InsyaAllah, berlanjut di Pendakian Gunung Slamet (Part 6)




***



”Kayaknya kita tadi lewat sana”.

“Itu tebing Man”, jawab Bang Togi

“Iya kita musti panjat tebingnya”, akupun mulai ragu

“Iya mas, Vicky juga rasa kita harusnya lewat sana”, Vicky ikutan bersuara

“Sudahlah, kita terobos aja hutan ini. Lurus dan sampe ke kampung bawah sana”, Bang Togi berpendapat.

“Nerobos hutan tanpa jalanan? Bisa dua hari baru nyampe bang. Tanpa logistik??”



Kami tersesat.

Tak menemukan jalan kembali

Hanya kabut

Dan perbedaan pendapat.







---selesai----



Buat Bala-bala

Vicky dalam kabut

Berpose di Puncak
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar