Jumat, 06 Oktober 2017

SESAT



Pendakian Gunung Slamet (Part 6)
 



Di puncak.
Puncak Gunung Slamet.
Apa rasanya?
Strawberry, Green Tea, Vanilla, atau rasa rindu?
Hah. Mulai lagih.


Kali ini citarasa berada di tanah tertinggi begitu dingin. Sama dinginnya dengan responmu. Angin begitu kencang, kabut begitu tebal. Benar-benar tak terlihat jelas apa yang di hadapan. Langit tak jernih. View khas di atas ketinggian tak terlihat juga. Tapi kami tetap saja menikmati proses ini. Menikmati dengan cara kami yang tak kalian mengerti.


Udah?
Ayok turun gunung.


Jadi, kalau naik gunung itu memang gitu. Naik, nyampe, ikuti lagi proses turunnya. Proses turun gunung juga ga bisa diabaikan. Alih-alih bergembira, kalau ga perhatikan tekstur jalan bisa fatal pakai ef, bisa jatuh ke relung hati terdalam eh! Jatuh ke bebatuan yang terjal, bisa perosotan kayak anak-anak PAUD yang ditinggal emaknya kerja kantoran, bisa nyasar dan sesat, disorientasi jalan. Seperti kami saat itu. Sesat.


Seperti senyum indahmu saat itu
Hanya membuatku tersesat
Dalam sebuah kenikmatan yang kuciptakan sendiri


Entah kenapa rasa aneh mulai menghampiri kami satu-persatu. Kami mulai menyadari bahwa jalan turun gunung ini bukanlah rute awal kami mendaki tadi. Memang, gunung ini sejak lama ditutup, jadi tak ada bekas jalan pendaki lainnya. Itu yang pertama, alasannya. Yang kedua, memang tipikal jalan berbatu itu sulit membekas, beda kalau tanah aluvial atau tanah basah seperti biasa, bisa terlihat jejak atau bekas jalan yang dilalui. Juga kalau ada beberapa tumbuhan yang memang bekas dilewati, tentu ada bekasnya. Trus yang ketiga, bisa karena pengaruh cuaca buruk, kabut. Jadi ga terlihat jelas beberapa meter ke depan. Trus lagi, puncak gunung itu seperti nasi tumpeng, kerucut. Jadi kalau start awalnya aja sudah menyimpang sekian meter atau sekian derajat dari jalan, makin ke bawah gunung akan makin melebar nyasarnya.


Makin turun gunung makin terasa ini bukan jalan yang awalnya kami lalui. Lebih terjal. Lebih mengerikan. Jelas ini bukan jalur yang tadi. Mas Rudy semakin bersemangat mencari jalan keluar. Bang Togi masih di dekatku. Vicky terlihat perlahan beradaptasi dengan medan. Semakin turun gunung semakin ga jelas saja jalan ini.
Mulai gerah.


”Kayaknya kita tadi lewat sana”.
“Itu tebing Man”, jawab Bang Togi
“Iya kita musti panjat tebingnya”, akupun mulai ragu
“Iya mas, Vicky juga rasa kita harusnya lewat sana”, Vicky ikutan bersuara
“Sudahlah, kita terobos aja hutan ini. Lurus dan sampe ke kampung bawah sana”, Bang Togi berpendapat.
“Nerobos hutan tanpa jalanan? Bisa dua hari baru nyampe bang. Tanpa logistik??”


Hanya beberapa kalimat saja yang bisa kami percakapkan. Selebihnya hanya berhati-hati melalui bebebatuan yang besar-besar yang bisa saja berjatuhan. Mas Rudi aku perhatikan mengambil ritme lebih laju meninggalkan kami. Aku melihatnya mendaki beberapa tebing untuk melihat apakah ada rute awal kami sebetulnya berada di balik tebing tadi. Agak sulit ya menuliskannya. Buat teman-teman yang belum pernah mendaki, kadang ada yang bertanya bagaimana bisa tersesat di gunung, apa sulitnya mencari jalan atau membuat jalan itu sendiri. Iya, benar. Teorinya memang demikian, tapi sebetulnya di puncak gunung itu atau mulai lereng gunungnya, medannya itu sangat luas. Juga ga sedatar yang disangka sehingga pandangan kita seakan tidak terhalang apapun juga. Padahal lereng gunung dari puncak itu teksturnya tidak beraturan, seperti ada parit-parit besar dan dalam di setiap sisisnya.


Makin kami turuni, mulai terlihat batas vegetasi. Mulai terlihat, tapi masih sangat jauh. Sementara jalan menuju itu seperti jalan menuju kematian. Lebay. Bukan, tapi memang hanya ada jurang, bebatuan dan kenangan pahit tentangmu. Hah.


Ya udah disingkat aja ceritanya. Kami ketemu jalan. Hap. Tapi ga seru ya kalau ga diceritakan. Ya udah saya ceritakan kembali.


Jadi pemirsah, Mas Rudylah yang ngajakin kami ikutin rutenya. Ke kiri, ke kiri, ke kiri dan ke kiri, mirip lagu yang hits dijadikan senam kesegaran di beberapa instansi pemerintahan. Dari penjelasan Mas Rudy, dari kejauhan terlihat beberapa perempuan di satu titik jalan. Ga mikir apa-apa waktu itu selain berasumsi kalau disana terlihat ada orang tentunya disitu ada jalan. Dan berhasil teman-teman, kami nyampe di satu titik tadi yang ternyata ada bekas jalannya.
Senangnya.
Kalau sampe nyasar, sertifikat Mas Rudy dicabut.
Hup.


Jadi titik yang tadinya seperti terlihat ada beberapa perempuan cantik tadi tepat di batas vegetasi. Jadi ya ada bekas jalan setapak. Dan setelah itu, kami hanya tinggal melanjutkan jalan saja, sambil mengevaluasi kesalahan kami sebelumnya.

*buka daypack
*buka silverqueen
*buka lembaran baru setelah  pengkhianatanmu


jalan, jalan, jalan. Turun, turun, turun. Sepi, sepi, sepi. Hijau, hijau, hijau. Sambil menyanyikan kidung cinta tak bersuara. Sesekali beristirahat sambil nungguin Vicky yang mulai kelelahan. Buka lagi tutup botol minum, teguk lagi satu tegukkan air segar dari hutan gunung slamet. Nikmatnya alam ini, nikmatnya hidup ini. Sungguh aneh jika ada manusia yang harus menderita hanya karena persoalan sederhana, hanya karena kebaikannya tak dibalas seharusnya, hanya karena orang yang ia harapkan pada akhirnya mendustainya. Hanya karena bla, bla, bla dan sebagainya yang hanya membuatnya seperti pesakitan tanpa gairah. Benar-benar aneh. Apa manusia seperti itu tidak tau bahwa kenikmatan hidup itu begitu mudahnya kita ciptakan sendiri, apa manusia seperti itu tidak sadar bahwa kebahagiaan hidup itu tak hanya tergantung dari janji manisnya, apa manusia seperti itu tidak juga segera move on dari kegagalan yang sudah ia bangun bertahun-tahun lamanya. Hah?!, wake up, nyadar, jangan mau tersesat oleh labirin kebodohanmu sendiri. Berjalanlah keluar lingkungan sakitmu, bersama kami para penikmat alam ini. Membiarkan lelah ini begitu nikmat. Nikmat saat udara yang kami hirup benar-benar segar karena berasal dari pepohanan yang rindang. Nikmat saat kaki-kaki kecilmu ternyata memiliki kekuatan ekstra yang mampu berjalan begitu jauhnya, begitu terjalnya hingga ke puncak tanah tertinggi. Nikmatnya seteguk air yang kau ambil gratis dan jernih dan begitu sejuk. Nikmatnya saat kau berbagi makanan yang tak banyak. Nikmatnya jika kau bisa menyaksikan sekelompok aves terbang berdampingan, beramai-ramai, berkawan. Nikmatnya saat kau bisa menunggu dan ditunggu, menawarkan dan ditawarkan, menolong dan ditolong. Nikmatnya saat kau bersimpuh mengucap syukur kehadiratNya, lalu membiarkan jutaan pepohonan menyaksikan ritual keimananmu.


Masihkah engkau bersedih.
Mendakilah.


Gubrak.

Ga nyadar nulis alinea tadi kebawa emosi pemirsah. Biasa lah, alay. Ya udah lanjutin lagi yak. Beberapa saat nyampe dah di tenda. Di pos. kalau turun gunung itu lebih cepat prosesnya, biasanya. Nyampe di tenda, beres-beres. Ambil air, makan, cerita-cerita, buang air besar. Eh lupa, buang airnya kapan yak, apa kemarin atau tadi. Tapi kayaknya dua kali buang air besar. Nah ini, pengalamanku kalau buang air besar biasanya suka pas sama Mas Rudy. Kayak janjian gitu. Jadinya biasanya barengan. Sambil nyari spot yang dirasa pas, kadang ga berjauhan juga, jadinya kami buang air besar bisa sambil ngobrol juga. Trus abis itu skopnya bisa gantian. Beres, tanam.


Ngebayangin ya apa yang ditanam?
Haha


Ya udah. Semua udah beres, turun gunung lagi. Nyampe pulang, udah.

Ga koq, aku ceritakan dikit yak proses pulangnya. Jadi target kami seharusnya bisa nyampe sebelum hari gelap. Tapi ternyata Vicky benar-benar kelelahan. Ngedroup. Tapi masih bisa jalan. Kalau ga bisa udah aku gendong. Terserah mau gendong belakang atau gendong depan. Gendong belakang kayak bakul jamu, gendong depan kayak anak koala. Tapi apapun permintaanya, aku jelas ga sanggup. Haha. Becanda ya.


Jadi Vicky dan akhirnya Bang Togi juga udah mulai kelelahan. Jalannya udah mirip pengantin sunat lagi bisulan. Pelannnn banget. Sampe kadang si Vicky kayak ga jelas gitu, bentar-bentar nanya, ‘Mas lewat sini ya?’, ‘bukan Vicky, itu jurang’.


Kalau begini kondisinya kita ga akan bisa nyampe sebelum gelap. Trus Mas Rudy yang bakalan ga punya space waktu buat rehat karena ntar Mas Rudy lagi yang nyetir si Terios. Akhirnya kami rembukkan, bikin opsi lain. Mas Rudy dibiarin aja lebih dulu jalannya. Sementara aku masih bisa jagain teman lainnya. Udah ga begitu jauh memang. Udah terasa aja aroma pedesaan. Tapi ya tau sendiri kan kalau perkebunan di pegununggan itu maha luas, jadi tetap saja masih jauh. Seperti muka mantan. Jauh. Kusam. Kayak kertas koran abis lebaran.


Jalan….jalan… pelan… pelan…
Sampe gelap. Sampe ga nyadar ternyata udah nyampe di belakang rumah warga.
Hah, senengnya.


Nyamperin Mas Rudy di parkiran basecamp. Trus disambut, trus nyari makan dulu. Eh makan dulu apa nggak ya. Lupa. Tapi yang jelas waktu itu Mas Rudy nyaranin supaya kami segera beres-beres.


Kita diusir.
Glekk.


Jadi, tadi Mas Rudy didatengin beberapa warga atau petugas lah ya, supaya kami segera pergi aja. Karena katanya kami ga ijin waktu naiknya. Ih, pamit koq, sama warga situ. Emang waktu itu di basecamp sedang ga ada petugasnya.

*Alibi

*Tidak untuk dicontoh



Ya udah, patuh saja. Kami berberes. Kami bergegas. Kami pamit lagi dengan warga yang baik hati, ramah dan tidak sombong. Kepada warga yang tidak baik hati, tidak ramah dan sombong, kami juga pamit koq. Kan kami pendaki yang baik hati, ramah dan tidak sombong. Hehe. Apasih.


Beres. Pulang. Ga pake tancep gas. Karena turunan tajam.
Noleh dikit lagi ke gerbang pendakian. Slamet. Ah, matursuwun nggih. Kulo badhi pamit. Sugeng dhalu. Makasih banyak atas kebaikannya. Kami pulang yak.


Pulang. On the way kayak statusnya alay. Tujuan Bandung. Tapi mampir dulu di tepi jalan. Nyari makan. Ada warung sate dan gulai. Kami pesan beda menu beda porsi. Tapi ya dimakan semua. Makan yang emang pesanannya, makan juga yang pesanan sebelahnya. Nikmat bukan kalau punya teman begitu. Ga kayak mantan, kamu yang traktir, trus dianya makan dikit karena takut gemuk, trus sambil makan dianya update status, trus abis itu dianya selingkuh. Modyarr.


Ya udah. Udah dulu yak kisahnya.Sampai jumpa di cerita berikutnya. InsyaAllah.

Selesai.


ooOoo












Artikel Terkait
Comments
6 Comments

6 komentar:

  1. Salah judul spt nya mas Iman.. hehe. Nurmina

    BalasHapus
  2. Baca part per part nya ini bikin menggigil pas ke slamet kmrn

    BalasHapus
  3. Menggigil ketakutan atau kedinginan, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dingin dingin serem... hahahaha... track malam soal nya.. jam 4 dr bc.. jam 12 smp pos 5 hahahaha

      Hapus
  4. Сryptocurrencies - Iron Man's Finest Foil Brushed Hair Cut
    Сryptocurrencies. We've snow peak titanium got titanium 4000 the best tips for shaving your hair today! is titanium a conductor Iron titanium cup Man's Finest Foil Brushed apple watch titanium Haircuts.

    BalasHapus