Pendakian Gunung Slamet (Part 6)
Di puncak.
Puncak Gunung
Slamet.
Apa rasanya?
Strawberry,
Green Tea, Vanilla, atau rasa rindu?
Hah. Mulai
lagih.
Kali ini
citarasa berada di tanah tertinggi begitu dingin. Sama dinginnya dengan
responmu. Angin begitu kencang, kabut begitu tebal. Benar-benar tak terlihat
jelas apa yang di hadapan. Langit tak jernih. View khas di atas ketinggian tak
terlihat juga. Tapi kami tetap saja menikmati proses ini. Menikmati dengan cara
kami yang tak kalian mengerti.
Udah?
Ayok turun
gunung.
Jadi, kalau naik
gunung itu memang gitu. Naik, nyampe, ikuti lagi proses turunnya. Proses turun
gunung juga ga bisa diabaikan. Alih-alih bergembira, kalau ga perhatikan
tekstur jalan bisa fatal pakai ef, bisa jatuh ke relung hati terdalam eh! Jatuh
ke bebatuan yang terjal, bisa perosotan kayak anak-anak PAUD yang ditinggal
emaknya kerja kantoran, bisa nyasar dan sesat, disorientasi jalan. Seperti kami
saat itu. Sesat.
Seperti senyum indahmu saat itu
Hanya membuatku tersesat
Dalam sebuah kenikmatan yang kuciptakan sendiri
Entah kenapa
rasa aneh mulai menghampiri kami satu-persatu. Kami mulai menyadari bahwa jalan
turun gunung ini bukanlah rute awal kami mendaki tadi. Memang, gunung ini sejak
lama ditutup, jadi tak ada bekas jalan pendaki lainnya. Itu yang pertama,
alasannya. Yang kedua, memang tipikal jalan berbatu itu sulit membekas, beda
kalau tanah aluvial atau tanah basah seperti biasa, bisa terlihat jejak atau
bekas jalan yang dilalui. Juga kalau ada beberapa tumbuhan yang memang bekas
dilewati, tentu ada bekasnya. Trus yang ketiga, bisa karena pengaruh cuaca
buruk, kabut. Jadi ga terlihat jelas beberapa meter ke depan. Trus lagi, puncak
gunung itu seperti nasi tumpeng, kerucut. Jadi kalau start awalnya aja sudah
menyimpang sekian meter atau sekian derajat dari jalan, makin ke bawah gunung
akan makin melebar nyasarnya.
Makin turun
gunung makin terasa ini bukan jalan yang awalnya kami lalui. Lebih terjal.
Lebih mengerikan. Jelas ini bukan jalur yang tadi. Mas Rudy semakin bersemangat
mencari jalan keluar. Bang Togi masih di dekatku. Vicky terlihat perlahan
beradaptasi dengan medan. Semakin turun gunung semakin ga jelas saja jalan ini.
Mulai gerah.
āKayaknya kita
tadi lewat sanaā.
āItu tebing
Manā, jawab Bang Togi
āIya kita musti
panjat tebingnyaā, akupun mulai ragu
āIya mas, Vicky
juga rasa kita harusnya lewat sanaā, Vicky ikutan bersuara
āSudahlah, kita
terobos aja hutan ini. Lurus dan sampe ke kampung bawah sanaā, Bang Togi
berpendapat.
āNerobos hutan
tanpa jalanan? Bisa dua hari baru nyampe bang. Tanpa logistik??ā
Hanya beberapa
kalimat saja yang bisa kami percakapkan. Selebihnya hanya berhati-hati melalui
bebebatuan yang besar-besar yang bisa saja berjatuhan. Mas Rudi aku perhatikan
mengambil ritme lebih laju meninggalkan kami. Aku melihatnya mendaki beberapa
tebing untuk melihat apakah ada rute awal kami sebetulnya berada di balik
tebing tadi. Agak sulit ya menuliskannya. Buat teman-teman yang belum pernah
mendaki, kadang ada yang bertanya bagaimana bisa tersesat di gunung, apa sulitnya
mencari jalan atau membuat jalan itu sendiri. Iya, benar. Teorinya memang
demikian, tapi sebetulnya di puncak gunung itu atau mulai lereng gunungnya,
medannya itu sangat luas. Juga ga sedatar yang disangka sehingga pandangan kita
seakan tidak terhalang apapun juga. Padahal lereng gunung dari puncak itu
teksturnya tidak beraturan, seperti ada parit-parit besar dan dalam di setiap
sisisnya.
Makin kami
turuni, mulai terlihat batas vegetasi. Mulai terlihat, tapi masih sangat jauh.
Sementara jalan menuju itu seperti jalan menuju kematian. Lebay. Bukan, tapi
memang hanya ada jurang, bebatuan dan kenangan pahit tentangmu. Hah.
Ya udah
disingkat aja ceritanya. Kami ketemu jalan. Hap. Tapi ga seru ya kalau ga
diceritakan. Ya udah saya ceritakan kembali.
Jadi pemirsah,
Mas Rudylah yang ngajakin kami ikutin rutenya. Ke kiri, ke kiri, ke kiri dan ke
kiri, mirip lagu yang hits dijadikan senam kesegaran di beberapa instansi
pemerintahan. Dari penjelasan Mas Rudy, dari kejauhan terlihat beberapa
perempuan di satu titik jalan. Ga mikir apa-apa waktu itu selain berasumsi
kalau disana terlihat ada orang tentunya disitu ada jalan. Dan berhasil
teman-teman, kami nyampe di satu titik tadi yang ternyata ada bekas jalannya.
Senangnya.
Kalau sampe
nyasar, sertifikat Mas Rudy dicabut.
Hup.
Jadi titik yang
tadinya seperti terlihat ada beberapa perempuan cantik tadi tepat di
batas vegetasi. Jadi ya ada bekas jalan setapak. Dan setelah itu, kami hanya
tinggal melanjutkan jalan saja, sambil mengevaluasi kesalahan kami sebelumnya.
*buka daypack
*buka silverqueen
*buka lembaran
baru setelah pengkhianatanmu
jalan, jalan,
jalan. Turun, turun, turun. Sepi, sepi, sepi. Hijau, hijau, hijau. Sambil
menyanyikan kidung cinta tak bersuara. Sesekali beristirahat sambil nungguin
Vicky yang mulai kelelahan. Buka lagi tutup botol minum, teguk lagi satu
tegukkan air segar dari hutan gunung slamet. Nikmatnya alam ini, nikmatnya
hidup ini. Sungguh aneh jika ada manusia yang harus menderita hanya karena
persoalan sederhana, hanya karena kebaikannya tak dibalas seharusnya, hanya
karena orang yang ia harapkan pada akhirnya mendustainya. Hanya karena bla,
bla, bla dan sebagainya yang hanya membuatnya seperti pesakitan tanpa gairah.
Benar-benar aneh. Apa manusia seperti itu tidak tau bahwa kenikmatan hidup itu
begitu mudahnya kita ciptakan sendiri, apa manusia seperti itu tidak sadar
bahwa kebahagiaan hidup itu tak hanya tergantung dari janji manisnya, apa
manusia seperti itu tidak juga segera move on dari kegagalan yang sudah ia
bangun bertahun-tahun lamanya. Hah?!, wake up, nyadar, jangan mau tersesat oleh
labirin kebodohanmu sendiri. Berjalanlah keluar lingkungan sakitmu, bersama
kami para penikmat alam ini. Membiarkan lelah ini begitu nikmat. Nikmat saat
udara yang kami hirup benar-benar segar karena berasal dari pepohanan yang
rindang. Nikmat saat kaki-kaki kecilmu ternyata memiliki kekuatan ekstra yang
mampu berjalan begitu jauhnya, begitu terjalnya hingga ke puncak tanah
tertinggi. Nikmatnya seteguk air yang kau ambil gratis dan jernih dan begitu
sejuk. Nikmatnya saat kau berbagi makanan yang tak banyak. Nikmatnya jika kau
bisa menyaksikan sekelompok aves terbang berdampingan, beramai-ramai, berkawan.
Nikmatnya saat kau bisa menunggu dan ditunggu, menawarkan dan ditawarkan,
menolong dan ditolong. Nikmatnya saat kau bersimpuh mengucap syukur
kehadiratNya, lalu membiarkan jutaan pepohonan menyaksikan ritual keimananmu.
Masihkah engkau
bersedih.
Mendakilah.
Gubrak.
Ga nyadar nulis
alinea tadi kebawa emosi pemirsah. Biasa lah, alay. Ya udah lanjutin lagi yak.
Beberapa saat nyampe dah di tenda. Di pos. kalau turun gunung itu lebih cepat
prosesnya, biasanya. Nyampe di tenda, beres-beres. Ambil air, makan,
cerita-cerita, buang air besar. Eh lupa, buang airnya kapan yak, apa kemarin
atau tadi. Tapi kayaknya dua kali buang air besar. Nah ini, pengalamanku kalau
buang air besar biasanya suka pas sama Mas Rudy. Kayak janjian gitu. Jadinya
biasanya barengan. Sambil nyari spot yang dirasa pas, kadang ga berjauhan juga,
jadinya kami buang air besar bisa sambil ngobrol juga. Trus abis itu skopnya
bisa gantian. Beres, tanam.
Ngebayangin ya
apa yang ditanam?
Haha
Ya udah. Semua
udah beres, turun gunung lagi. Nyampe pulang, udah.
Ga koq, aku
ceritakan dikit yak proses pulangnya. Jadi target kami seharusnya bisa nyampe
sebelum hari gelap. Tapi ternyata Vicky benar-benar kelelahan. Ngedroup. Tapi
masih bisa jalan. Kalau ga bisa udah aku gendong. Terserah mau gendong belakang
atau gendong depan. Gendong belakang kayak bakul jamu, gendong depan kayak anak
koala. Tapi apapun permintaanya, aku jelas ga sanggup. Haha. Becanda ya.
Jadi Vicky dan
akhirnya Bang Togi juga udah mulai kelelahan. Jalannya udah mirip pengantin
sunat lagi bisulan. Pelannnn banget. Sampe kadang si Vicky kayak ga jelas gitu,
bentar-bentar nanya, āMas lewat sini ya?ā, ābukan Vicky, itu jurangā.
Kalau begini
kondisinya kita ga akan bisa nyampe sebelum gelap. Trus Mas Rudy yang bakalan ga
punya space waktu buat rehat karena ntar Mas Rudy lagi yang nyetir si Terios.
Akhirnya kami rembukkan, bikin opsi lain. Mas Rudy dibiarin aja lebih dulu
jalannya. Sementara aku masih bisa jagain teman lainnya. Udah ga begitu jauh
memang. Udah terasa aja aroma pedesaan. Tapi ya tau sendiri kan kalau perkebunan
di pegununggan itu maha luas, jadi tetap saja masih jauh. Seperti muka mantan.
Jauh. Kusam. Kayak kertas koran abis lebaran.
Jalanā¦.jalanā¦
pelanā¦ pelanā¦
Sampe gelap.
Sampe ga nyadar ternyata udah nyampe di belakang rumah warga.
Hah, senengnya.
Nyamperin Mas
Rudy di parkiran basecamp. Trus disambut, trus nyari makan dulu. Eh makan dulu
apa nggak ya. Lupa. Tapi yang jelas waktu itu Mas Rudy nyaranin supaya kami
segera beres-beres.
Kita diusir.
Glekk.
Jadi, tadi Mas
Rudy didatengin beberapa warga atau petugas lah ya, supaya kami segera pergi
aja. Karena katanya kami ga ijin waktu naiknya. Ih, pamit koq, sama warga situ.
Emang waktu itu di basecamp sedang ga ada petugasnya.
*Alibi
*Tidak untuk
dicontoh
Ya udah, patuh
saja. Kami berberes. Kami bergegas. Kami pamit lagi dengan warga yang baik
hati, ramah dan tidak sombong. Kepada warga yang tidak baik hati, tidak ramah
dan sombong, kami juga pamit koq. Kan kami pendaki yang baik hati, ramah dan
tidak sombong. Hehe. Apasih.
Beres. Pulang.
Ga pake tancep gas. Karena turunan tajam.
Noleh dikit lagi
ke gerbang pendakian. Slamet. Ah, matursuwun nggih. Kulo badhi pamit. Sugeng
dhalu. Makasih banyak atas kebaikannya. Kami pulang yak.
Pulang. On the
way kayak statusnya alay. Tujuan Bandung. Tapi mampir dulu di tepi jalan. Nyari
makan. Ada warung sate dan gulai. Kami pesan beda menu beda porsi. Tapi ya
dimakan semua. Makan yang emang pesanannya, makan juga yang pesanan sebelahnya.
Nikmat bukan kalau punya teman begitu. Ga kayak mantan, kamu yang traktir, trus
dianya makan dikit karena takut gemuk, trus sambil makan dianya update status,
trus abis itu dianya selingkuh. Modyarr.
Ya udah. Udah
dulu yak kisahnya.Sampai jumpa di cerita berikutnya. InsyaAllah.
Selesai.
ooOoo
Artikel Terkait
Cerita Hati
- KOMANG
- CAWANG
- Jalan
- Penjahit dan Legian Street
- Happy Birthday
- Sembalun
- Ikrimah, Awan dan Kulit Kacang
- Dua Cerita Dua Doa
- Kehilangan
- Brugia Malayi
- Aaasin
- Pesan Moral Sebungkus Sate Ayam
- Bala-bala
- Pesan Untuk Secangkir Kopi
- Episode Kematian
- Pulang
- Sebiji Dzarrah
- Jangan Datang Januari
- Holiday is Lombok Sumbawa
- Keluarga Salak
- Dua Lawu Satu Rasa
- Senyum Indah Sindara
- Jakarta
- Meminjam Catatan Ilalang
Gunung
- Saatnya Pulang
- Menuju Puncak Gunung Ceremai
- Empal Gentong
- CAWANG
- Sehari di Cileungsi
- Bala-bala
- Pesan Untuk Secangkir Kopi
- Hap Hap Hap
- ON THE WAY
- Bersedekap Di Al Irsyad
- Semalam Dulu Di Bandung
- Keluarga Salak
- Dua Lawu Satu Rasa
- Senyum Indah Sindara
- Meminjam Catatan Ilalang
- Checklist Perlengkapan Pendakian
- Danau Segara Anak, Gunung Rinjani
- Tentang Kita ; Tentang Plawangan Sembalun Gunung Rinjani
- Savanna Gunung Rinjani
- Rinjani : Tentang Keindahan Alam, Impian dan Pertemanan
- Surat Buat Cikuray
- Album Pendakian Merapi
- Memori Kerinci
- Album Pendakian Merapi
Gunung Slamet
Salah judul spt nya mas Iman.. hehe. Nurmina
BalasHapusHehehe. Iya sepertinya.
BalasHapusBaca part per part nya ini bikin menggigil pas ke slamet kmrn
BalasHapusMenggigil ketakutan atau kedinginan, hehe
BalasHapusDingin dingin serem... hahahaha... track malam soal nya.. jam 4 dr bc.. jam 12 smp pos 5 hahahaha
HapusŠ”ryptocurrencies - Iron Man's Finest Foil Brushed Hair Cut
BalasHapusŠ”ryptocurrencies. We've snow peak titanium got titanium 4000 the best tips for shaving your hair today! is titanium a conductor Iron titanium cup Man's Finest Foil Brushed apple watch titanium Haircuts.