Rabu, 02 Mei 2018

Penjahit dan Legian Street


Penjahit dan Legian Street



Penjahit tanpa nama. Mungkin tak terlalu berlebihan aku katakan demikian, karena tidak ada plang nama dan lokasi jasa jahitnya terpisah dari komplek perbelanjaan umumnya. Lebih tepatnya, dari jalan menuju komplek perbelanjaan Gusher, yang searah juga dengan lokasi wisata Hutan Mangrove Tarakan, ada satu jalan sebelah kiri tepat sebelum pintu masuk komplek Gusher, sekitar seratus meter ke dalam. Ada sebuah bangunan yang dindingnya terbuat dari susunan seng, luasnya kutaksir dua kali tiga meter saja. Disitulah penjahit itu berada.



Malam itu, untuk yang ketiga kalinya aku mampir lagi ke tempatnya. Memendekkan celana panjang yang melebihi ukuran panjang kakiku. Saat aku tiba, ia dengan segera mematikan kompor gasnya. Ya, di tempat yang kecil itu, ia menempatkan beberapa peralatan masaknya di sudut ruang kerjanya. Satu unit kompor gas, dengan tabung melon tiga kilogram.  Di atasnya sebuah wajan berukuran kecil, dan di dalamnya aku melihat beberapa potong ikan asin gulama yang tak jadi mengering karena lebih dulu dimatikan karena kedatanganku. Saat itu memang saatnya jam makan malam.


Ia bergegas menyapa. Menawarkan jasanya. Dengan sigap ia melaksanakan pekerjaannya. Mengambil meteran kain, mengukur panjang dari pinggang hingga matakakiku. Ia kemudian memilih warna benang sesuai dengan warna celana. Menggulungnya ke sekoci, memotong ujung celana, hingga mengkapurkan bagian yang menjadi batas jadinya. Hanya dalam hitungan menit, celanaku sudah selesai dipermak. Ia menyerahkan kepadaku, aku menyerahkan dua lembar rupiah kepadanya.


Setelah itu, ia berkata,” Mas ini yang pernah ke sini ya?”.
“Iya benar, ini yang ketiga kalinya”.
“Tinggal di mana?”
“Di Sekatak pak, dua jam lewat laut dari sini”.
“Oh, jauh. Jadi kapan kembali ke sana mas?”
“InsyaAllah besok. Ya udah, saya pamit pak, terima kasih”.
“Oh iya, terima kasih banyak, semoga rezekinya mas lancar, kerjaannya lancar, besok juga semoga perjalannya selamat ya?”
“Iya pak, aamiin. Terima kasih banyak”.


Secarik doa. Ya, kawan. Seuntai doa yang sangat ringan diucapkan tetapi tahukah kita bahwa itu sangat berat di timbangan. Dan aku percaya itu.


Entah apa alasannya, aku memilih penjahit itu untuk mempermak pakaianku. Akan tetapi, dari keramahannya, kesederhanaannya dan daya ingatnya mengingatku sebagai konsumennya kini menjadi daya tariknya. Ia masih mengingatku karena pernah beberapa bulan atau mungkin tahun lalu menggunakan jasanya juga. Ini sangat jauh berbeda dengan pangkas rambut langgananku, yang sepertinya hampir setiap bulan aku menggunakan jasanya, dan harus setiap kali itu juga aku menjelaskan seperti apa model rambut yang sesuai dengan keinginanku. Dan satu hal yang menginspirasiku menuliskan kisah di laman ini, tentu saja dari seuntai doa yang ia haturkan. Sungguh, kata-kata itu begitu meneduhkan, begitu ringan terdengar, seakan memberi semangat yang datang secara tiba-tiba dari sebuah keletihan aktivitas sehari-hari. Aku mengamini, dan melakukan hal yang sama untuknya.


Sahabat pembaca, begitu indah ya hidup kita jika yang keluar dari mulut kita adalah sebuah kata-kata positif, kata-kata penyemangat, kata-kata yang saling menguatkan. Tak perlu mencari ilmu hingga ke dasar samudra sepertinya untuk bisa melantunkan sebuah doa, tak harus hingga ke puncak tertinggi juga untuk bisa bersikap santun kepada sesama. Meski memang perjalanan menuju kedua tempat tadi seyogyanya bisa membentuk kita menjadi pribadi yang lebih teduh, rendah hati dan bertutur lembut bersahaja. Namun belajar dari seorang penjahit di pinggiran kota kecil ini pun sudah sungguh sebuah mata kuliah yang sangat mahal harganya. Aku belajar untuk mendoakan orang lain meski seharusnya si penjahit itulah yang lebih pantas memanjatkan doa sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri.


Kawan, bahasan tentang nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari akan sangat mudah kita temukan. Searah dengan tema ini, aku ceritakan juga pengalamanku saat berada di Jalan Raya Legian Kuta, Bali beberapa hari yang lalu. Kali itu aku dan kedua temanku, memilih sebuah tempat nongkrong yang lebih tepatnya bukan buat tempat nongkrong. Legian street memang sebuah area nongkrong dan sejenisnya. Di sepanjang jalan ini, lebih tepatnya sekitaran lokasi Monumen Bom Bali, berderet macam-macam tempat nongkrong yang menawarkan sejumlah hiburan malam. Mulai dari Paddy’s Pub, Sky Garden, Bounty Discotheque, Engine Room Bali Super Club, Vi Ai Pi hingga Apache Reggae Bar. Ingar bingar musik saling bersautan. Mulai yang dari sound system super keras, hingga live music dari band-band lokal yang meneriakkan lagu-lagu barat.


Di jalan raya satu arah ini, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Legian Street, merupakan kawasan wisata malam. Tepat di kawasan monumen eks peristiwa kelam peledakkan bom beberapa tahun silam, di jalan ini pun terdapat dua gang populer wisatawan backpacker, yaitu gang poppies I dan poppies II. Di gang tersebut terdapat hotel-hotel dengan harga bersaing. Selain hotel atau guesthouese, kawasan legian juga dijejali pertokoan cinderamata, minimarket, spa dan massage,  hingga restauran. Jika ingin menemukan jajanan lokal khas jawa, bisa blusukkan ke jalan sebelah, lewat gang kecil. Jalan Mataram namanya. Di jalan ini banyak penjaja makanan lokal ditawarkan.


Kembali di legian street, aku menawarkan untuk memilih nongkrong di sebuah balkon minimart, tepat di sisi monumen. Minimart di sepanjang jalan kawasan wisata di Bali biasanya menyediakan beberapa kursi di berandanya. Hanya kisaran empat hingga enam kursi saja, disesuaikan area minimart yang memang biasanya berukuran mini. Entahlah apakah kedua  partnerku kali ini merasa nyaman dengan tawaranku atau tidak. Mereka mengiyakan saja. Bagaimana tidak, diantara kawasan tempat nongkrong modern dengan suguhan beraneka ragam minuman dan pramusaji yang aduhai, aku malah memilih sebuah balkon di lantai dua minimart dengan menu softdrink ala anak-anak santri. Sebutlah minuman dingin rasa jeruk, vanila atau cokelat. Atau sekaleng kopi instant yang sudah mendekam di lemari pendingin.


Dari tempat inilah aku melihat arus manusia dari hulu ke hilir, dari barat ke timur, dari orang barat hingga orang timur.  Kedua partnerku terlihat begitu asik dengan gadget, sosmed atau game-nya, sebuah aktivitas yang sudah lama aku tinggalkan apalagi disaat-saat ‘kebersamaan’ seperti ini. Aku memilih meneguk sedikit minuman dingin, lalu kembali melihat aktivitas manusia di depanku. Balkon ini sepertinya bekas sebuah café atau kedai fastfood. Sebetulnya kami menaksir untuk bisa nongkrong di teras depan minimart itu, tapi karena penuh, kami disarankan pramuniaga untuk ke lantai dua. Di lantai dua, memang sebuah bangunan kosong, namun masih terdapat meja dan kursi. Beberapa orang juga terlihat di tempat itu. Termasuk di balkon tempat kami membunuh waktu saat itu.


Dari balkon, masih terlihat dua menara dari permainan adrenalin baru berlabel gethigh5GH. Sebuah permainan yang melempar peminatnya hingga di ketinggian. Sejenis rollercoster atau bungyjumping. Di seberang minimart ini, atau lebih tepatnya berada di depanku saat itu adalah sebuah lahan kosong tempat parkir milik pub tertentu. Di kedua sisinya ada outlet Polo dan Guardian Pharmacy, sementara di sudut trotoarnya ada ibu penjual nasi pincuk dan seorang bapak penjual kacang rebus. Kuperhatikan, penjual nasi pincuk memang mengambil lokasi berjualan di tempat itu, sementara si penjual kacang rebus sepertinya tidak menetap.


Entah berapa ratus manusia yang sudah terekam di mataku sejak aku ‘nongkrong’ di tempat ‘nongkrong’ ini. Mulai yang berkulit putih, hingga berambut putih. Mulai yang bercelana pendek hingga berkaki pendek. Atau yang sedang menenteng sebotol Captain Morgan hingga sekaleng Adem Sari. Aku hanya ikut tersenyum bahagia ketika si penjual nasi pincuk kedatangan pelanggan, atau tersenyum prihatin mendengar turis lokal yang lebih memilih kata ‘sorry’ daripada kata ‘maaf’ saat berpaspasan dengan sesama turis lokal. Sedih, bahagia, suntuk, ribut, sepi, musik, asing, senyum, minum, hape, lampu, klakson, paha, dan begitu banyak kosakata yang berbaur dalam satu frame sekaligus. Aku tentu saja bukan Jati Wesi atau Tanaya Suma dalam buku Dee Lestari yang bisa membaui semua itu, namun setidaknya satu objek kecil kali ini menjadi catatan tersendiri buatku.


Dari sekian banyak manusia yang lewat, seorang turis jepang menghentikan langkahnya di depan penjual kacang rebus. Penjual itu duduk di tepi trotoar, atau di bibir bak bunga di bagian tepi trotoar legian street. Aku dengan seksama melihat pemandangan ini. Turis wanita jepang itu hanya mengenakan tanktop dan rok mini berwarna hitam dengan mozaik putih. Dengan seutas tas tangan yang ia sangkutkan di lengan kanannya, ia setengah menunduk bernegosiasi dengan sang penjual. Sementara teman-teman tournya sudah lebih dulu beberapa langkah meninggalkan, namun akhirnya kembali lagi menemani si turis jepang itu. Diantara kerumunan turis jepang yang sedang membeli kacang rebus, di sisi kiri penjual datang juga seorang pembeli. Pembeli lokal. Sendirian, tanpa tanktop dan rokmini tentunya. Tanpa rombongan, tanpa gelaktawa, dan tanpa kedua kakinya!.


Pria lokal pembeli kacang rebus tanpa kedua kaki itu berhenti sejenak kemudian menawar sebungkus kacang rebus. Tak banyak nego sepertinya, karena setelah itu ia lebih dulu berlalu dengan tentengan kacang rebus yang ia selipkan di punggungnya. Ia kemudian berlalu, diantara keramaian trotoar legian street.


Hanya beberapa detik, turis wanita jepang baru menyadari pembeli lokal disabilitas itu. Ia kuperhatikan memperhatikan si pembeli lokal yang berjalan dengan penyangga kedua tangannya. Sebungkus kacang rebus yang terlihat disangkutkan di belakangnya, si turis jepang seperti tertegun melihat. Ia dengan segera meninggalkan lagi teman-teman tournya, meninggalkan sejenak penjual kacang rebus lalu bergegas mengejar si pembeli lokal tadi. Entah apa yang ia sampaikan, ia hanya berusaha untuk menghentikan sejenak si pembeli lokal.


Menyadari teman tournya pergi lagi, beberapa orang dari rombongan si turis jepang tadi kembali memperhatikan dengan seksama apa yang sedang dilakukan temannya lagi. Bukan hanya itu, apa yang dilakukan si turis wanita jepang tadi juga menarik perhatian beberapa turis lainnya di sekitar lokasi itu. Si turis wanita jepang ternyata memberikan sejumlah uang kepada si pembeli disabilitas tadi. Si pembeli lokal menerimanya, kemudian berlalu begitu saja.


Melihat apa yang diperbuat si turis jepang, ternyata mengundang secara spontan beberapa turis lainnya. Satu orang turis yang berdiri di depan pintu masuk area parkir, teman si turis yang berdiri di sampingnya, juga dengan spontan mengambil sesuatu dari tasnya kemudian dengan sedikit berlari menyelipkan ke kantong si pembeli lokal tersebut.


Perlu diketahui, si pembeli disabilitas jelas bukan pengemis. Bukan pengiba. Ia entah hanya lewat saja di jalan itu dan tak tahu ingin kemana. Ia berlalu, dari bingkai pandanganku yang terbatas. Entah apakah ia mendapatkan terus derma itu, ataukah ada kisah menarik lainnya.


Aku, seperti biasa, hanya bisa melihat, merasakan, kemudian menuliskan semua kisah itu. Aku yang tepat berada di tempat yang lebih tinggi saat itu memang tak perlu buru-buru meninggalkan teman-temanku untuk ikut-ikutan memberikan selembar rupiah kepadanya. Aku hanya bisa mengambil kembali kopi instant dalam kaleng kemasan 300ml dihadapanku, meneguknya lalu meletakkannya kembali. Aku memang harus senantiasa bersyukur semasif mungkin atas sebuah pelajaran dari sebuah tempat yang identik dengan suguhuan ‘surga’ malam. Suatu tempat dimana mungkin empati bukan menjadi bagian dari gemerlapnya hiburan di tempat itu. Namun, siapa sangka, bahwa nilai kebaikan tak akan pernah mengenal tempat, ras, agama, warna rambut hingga situasi apapun. Bahwa melakukan kebaikan memang tak harus menyerahkan selembar mata uang, atau materi lainnya. Kebaikan yang dilakukan si penjahit di pinggiran komplek perbelanjaan di cerita awal memang ‘hanya’ seuantai doa, tanpa rupiah, tanpa benda berdimensi lainnya. Namun pengaruh ucapan baik itu begitu kuatnya, yang bisa saja menjadi penyembuh dan pelipur segala gundah. Begitupun apa yang dilakukan si turis wanita jepang di legian street berikutnya, telah mengundang orang lain untuk melakukan hal yang serupa. Mungkin ia tak menyadari, bahwa ketika orang lain melakukan perbuatan seperti ia lakukan akibat meniru perbuatan baiknya, maka ia berhak mendapatkan ganjaran serupa, tanpa mengurangi hak yang orang lain terima.


Kita tinggalkan sejenak kisah si penjahit, dan apa yang terlihat di legian street. Kisah diatas sebenarnya sangat sederhana dan (seharusnya) mudah kita jumpai, namun akan menjadi lebih indah jika kitapun melibatkan diri dari perbuatan-perbuatan baik kepada sesama. Berbuat baik kepada orang sekitar, berbuat baik kepada orang yang baru dikenal hingga kepada orang yang belum dikenal. Beberapa tingkat diatasnya, kita bisa berbuat baik pada sekaleng bekas minuman, dengan tidak menelantarkannya begitu saja setelah dahaga kita terpuaskan. Berbuat baik pada rintik hujan dengan tidak mengeluhkan kedatangannya, atau berbuat baik pada sehelai rumput ilalang dengan tidak menyerabutnya tanpa kepentingan.


Aku bergegas. Menghela napas. Kembali berbaur diantara dentuman dan kerumunan. Membiarkan semua yang terlihat hanya bisa menguap. Lalu menyeruak bagaikan aroma dari sebuah bejana. Membaui semua penciuman, penginderaan, dan ketajaman mata hati. Bahwa semua peristiwa yang kita lalui berjalan di atas takdirnya sendiri-sendiri. Tugas kita hanyalah menjalani semuanya dengan segenap pengetahuan. Kita begitu lemah, kita begitu tak berpengetahuan. Kita hanya segumpal daging dengan kecenderungan yang merugikan. Kita, tak akan pernah berhasil melalui semua ini tanpa saling mengingatkan, tanpa saling mendoakan, tanpa saling memuliakan.


Terima kasih sudah membaca tulisan saya kali ini. Sampai berjumpa di lain kesempatan. InsyaAllah.

















Artikel Terkait
Comments
2 Comments

2 komentar:

  1. " Berbuat baik pada sekaleng bekas minuman, berbuat baik pada rintik hujan, berbuat baik pada sehelai rumput ilalang.. " Tertegun bacanya mas, tulisan yg menggetarkan hati
    - Nurmina -

    BalasHapus
  2. Terima kasih mba, benar untuk menjadi baik bisa dimulai dari hal2 yang mungkin sepele, tapi sebetulnya tdk ada yang sepele. Sy masih ingat dari sebuah bacaan atau ceramah, bahwa kalau lagi jalan di alam terbuka, trus lewati rumput2 atau daun2, maka jangan iseng untuk memetik, mematah atau nyabut dedaunan atau rerumputan, kalau tidak ada kepentingannya maka itu termasuk perbuatan sia2, hehe. Begitupun dgn perbuatan lainnya.
    Bahkan bukan hanya dgn kaleng bekas minum kita sendiri, sy ingin meniru sebuah keluarga yg membiasakan merapikan piring gelas makannya setelah selesai, padahal makannya di restauran hehe, ya itu sebetulnya simpel, bisa meringankan pekerjaan org lain kan, ya ga sampe harus dicuci juga hehe, beresin yang di meja saja. Menurut saya itu keren.

    Terima kasih sudah membaca.

    BalasHapus