Selasa, 30 Januari 2018

Happy Birthday





“Udah, nurut aja”.
“Ah, ini mau diapain….”.
“Udah, lewat sini teh”.
“Pelan-pelan teh, ngikut aja”.


Perempuan berkerudung putih itu dituntun oleh tiga orang temannya. Bukan karena ia buta, tapi karena kedua matanya ditutup selembar kain. Seperti biasa, suara mereka mendominasi tempat ini. Tempat yang mayoritas penghuninya adalah laki-laki. Tanpa sungkan mereka tertawa lepas. Dengan atau tanpa sengaja memperlihatkan perbuatannya.



Perempuan berkerudung putih itu terus bertanya. Akan diapakan dirinya, mau dibawa kemana, atau sederet pertanyaan lainnya. Mulai dari keluar kamar tinggal, kini ia dituntun menuruni anak tangga yang terbuat dari papan bangkirai. Satu-persatu ia dituntun menapaki anak tangga. Perlahan hingga sampai di halaman.


Ketiga teman perempuannya yang juga bertudung kain di kepala terus mendampinginya. Mengapitnya, mengarahkannya. Mereka masih tertawa di antara percapakan yang terdengar oleh seisi penghuni tempat ini.  Tiba di tengah halaman, ketika banyak pasang mata memandang, perempuan itu ditinggal sendirian. Ia berdiam. Ia bertanya. Sementara ketiga perempuan lainnya, hanya tertawa.


Tak beberapa lama, datang seorang laki-laki muda. Juga berasal dari kampus yang sama namun lebih dulu mengecap gelar sarjana. Laki-laki muda itu dengan ceria memecahkan telur ayam tepat di kepalanya. Seorang lainnya datang dengan membawa seember air. Setengah berlari mendekati perempuan berkerudung putih yang kotor oleh lelehan amis telur ayam. Kemudian menyiramkan isi ember tepat di kepalanya. Si perempuan berkerudung putih basah, namun itu belum berakhir. Beberapa dari mereka menaburkan tepung yang ada di genggaman. Satu persatu. Secara bergantian.


Mereka tertawa.
Mereka bersorak gembira.


Happy birthday, teh”.
“Selamat ulang tahun ya teh”.


Kain ikatan di mata sudah dilepas. Ucapan selamat disemat. Mereka berangkulan. Berpelukan seperti Tinky Winky, Dypsi, Po dan Lala. Kerudung putihnya yang kini ternoda tak ia masalahkan. Ia maklum. Ia hanya tersenyum.


**


Memperingati hari kelahiran, atau merayakan hari ulang tahun menjadi hal yang sangat lumrah. Jauh sebelum hari ini, bangsa Romawi kuno sudah menggelarnya dengan perayaan yang mewah. Dari catatan agama ‘langit’ perayaan ini pun menjadi dualisme pemahaman, ada yang membolehkan ada yang menyarankan untuk lebih berhemat. Kaum yahudi mengenalkan perayaan Bar Mitzvah untuk anak lelaki yang berusia 13 tahun, yang erat kaitannya dengan peringatan hari kelahiran. Rabbi Yissocher Frand berpendapat bahwa di hari kelahiran, seseorang dapat berdoa secara khusus karena di hari itu doa seseorang lebih cepat dikabulkan. Bagaimana dengan umat dari agama samawi yang lain ataupun dari agama ‘bumi’, tentu saja kita bisa melihatnya dengan nyata. Bukan hanya peringatan hari kelahiran, hari kematian seseorangpun bisa ‘dirayakan’.


Sahabat, tulisan ini tidak bermaksud untuk menyimpulkan tentang boleh tidaknya perayaan itu, dianjurkan atau ditentang, dipuja ataukah dicela. Apatah lagi jika sampai pada dua kalimat sakral (halal ataukah haram). Sungguh, bukan kapasitas kita di ranah itu. Masing-masing akan bertanggungjawab pada pilihannya. Dan tulisan ini hanya menceritakan sisi lain dari sebuah pilihan.


Seorang ibu di sebuah kota kecil menceritakan bahwa setidaknya anak perempuannya yang masih bersekolah di bangku Sekolah Dasar dalam satu tahun menghadiri tiga kali undangan acara ulang tahun di rumah yang sama. Hal itu dikarenakan si tuan rumah memang rutin merayakan untuk ke tiga orang anaknya. Tentu saja ini menjadi urusan masing-masing orang, namun tentu akan menjadi budget tambahan dari keluarga dengan penghasilan pas-pasan. Buat mereka yang berasal dari penghasilan sederhana, anak-anaknya hanya akan menjadi tamu undangan tanpa pernah menjadi tuan rumah. Anak-anaknya hanya akan terus memberikan sebungkus kado indah tanpa mungkin menjadi penerima. Anak-anaknya hanya akan melihat balon-balon indah di rumah temannya, bukan di rumah mungilnya. Ia tak bisa merayakannya, tentu saja alasannya adalah biaya.


Di sebuah kantor juga tengah berlaku tradisi menjamu teman-teman satu kantor ketika hari ulang tahunnya. Hitung saja berapa jumlah staf kantor itu maka sejumlah itulah jamuan makannya. Itu artinya setiap karyawan akan ‘merayakan’ hari ulang tahunnya saban tahun, perayaan yang mungkin saja tidak dirayakan oleh isteri atau anak-anaknya di rumah ketika mereka berada di pengulangan hari lahirnya setiap tahunnya.


Satu waktu dalam sebuah percakapan di pesawat telepon, seorang teman menanyakan kapan tanggal lahirku. Kapan hari ulang tahunku.


“Tapi aku tidak pernah merayakannya bang”, kilahku saat itu.
“Iya nggak papa. Yang penting ini saya noted  aja dulu”.
“Jadi gimana, kapan kita bisa travelling bareng. Ke Thailand kayaknya seru loh dek. Hidup itu harus ada jedanya, jangan serius mulu”, suara dari seberang telepon terus kudengar.
“Hehe, iya bang. Bukannya sedang sibuk sekarang bang?”, tanyaku.
“Iya betul, ini juga abis ikuti tranning. Dapat beasiswa dari Aussie. Jadi orang jangan hanya pinter dek, tapi juga cerdas. Beda loh, pinter dengan cerdas”. Ia menambahkan.


Si abang satu ini memang kukenal begitu sibuk. Owner sebuah majalah, wara-wiri di partai berwarna biru dan sederet urusan lainnya. Ia banyak berikan petuah hidup selama berbincang di telepon, tentang manfaat, kesempatan atau cerita anaknya di Jogja. Dari keseluruhan berbagi kisahnya itu, hari ulang tahunkupun menjadi catatannya. Aku memang tidak mencantumkan identitas itu di beberapa profil media sosial yang aku buat. Bukan tak ingin diketahui semakin tua, tapi tak sanggup saja rasanya harus membalas kebaikan budi teman-teman semua yang mengucapkan doa itu di beranda.


Perayaan hari ulang tahun, aku memang menolerirnya meski sulit untuk memaknainya. Jika sekadar untuk memaknai hari-hari yang telah berlalu, kemudian menyiapkan masa mendatang agar lebih matang maka aku lebih setuju dengan pemahaman yang dipilih oleh ‘halaqah cingkrang’. Mereka memilih memperbanyak langkah untuk membesuk atau melayat agar semakin mengerti akan makna usia di sepanjang hayat.


**

Perempuan berkerudung putih lalu diarahkan ke ruang bersantai. Ruangan ini tepat berada di tengah-tengah mess karyawan yang berbentuk huruf ‘u’. Ruangan yang juga digunakan untuk menonton acara TV, gaplekan atau sekadar bersenda gurau. Ruangan itu kini didekorasi dengan properti seadanya. Kertas buffalo  berwarna digantung di tengah ruangan. Setiap kertas berisi satu huruf banner yang jika dirangkaikan bertuliskan ‘Happy Birthday’. Sementara di meja, sudah ada sebuah cake persegi empat lengkap dengan lilinnya. Perempuan berkerudung putih terkejut, terharu, kemudian meneteskan airmata.


Happy birthday sayang, silakan make a wish sekarang”.


Mereka berdiam sesaat. Mengucap seperti mantra. Mata tertutup lalu dibuka. Nyala lilin kemudian dipadamkan.


Mereka bertepuk tangan.
Bernyanyi.
Berdendang.


Semua larut dalam party kecil di pedalaman Kalimantan. Mahasiswi dari kota besar yang sedang menimba ilmu di lingkungan perusahaan kayu itu menjadi pusat perhatian. Didampingi sang senior yang kini menjadi bagian dari perusahaan, mereka sedang mempertontonkan sebuah pertunjukkan yang belum pernah kami saksikan. Pernah, tapi hanya di layar kaca.


**

Di antara keriuhan suara, makanan kecil, canda hingga tawa membahana. Aku hanya tepekur pada satu objek dari keselurahan itu semua. Tak jauh dari mereka bersuka, tiga bocah perempuan sedang menyaksikan dari awal. Tubuhnya disanggah pada balok pagar teras. Rambutnya kering terkena sinar matahari. Pakaian berdebu dengan bau apek keringat karena bermain seharian. Mereka diam menyaksikan. Tertegun. Tercengang. Mengamati penuh ketelitian. Entah apa yang ada di dalam benaknya. Apakah begini jika merekapun kelak menempuh pendidikan tinggi di kota. Apakah ini yang disebut kekinian. Apakah ini yang mereka labelkan sebagai jaman now.


Kedua tangannya dilipat sedada. Lalu diletakkan di atas pagar balok teras. Tubuhnya kini seakan tergantung karena lebih rendah dari pagar. Hanya bertopang pada kedua tangannya, bocah-bocah itu tanpa terusik sedikitpun memerhatikan. Seksama. Khidmat. Tanpa suara. Kedua mata mereka terus melihat objek perempuan-perempuan berkerudung putih. Mulai saat mereka meruntuhkan kesunyian dengan histerianya, saat selembar kain menutup kedua matanya, ceplokkan telur, seember air ataupun taburan tepung. Mereka terus mengikutinya hingga di acara ‘ceremony’ dan makan-makannya.


Ketiga bocah perempuan itu beranjak pergi. Entah apa yang ada dibenaknya. Entah apa yang sedang mereka cerna. Entah apa yang berkecamuk dalam imajinasinya.


Ketiga bocah perempuan itupun berlalu. Menuruni anak tangga dari papan bangkirai. Melewati halaman dengan sisa-sisa taburan tepung yang bertebaran. Menuju sungai dengan arus air yang tenang. Berlari, lalu menceburkan diri. Aku hanya berharap apa yang mereka saksikan tadi bisa segera hilang tak berbekas. Seperti debu di kulitnya yang larut saat berenang di pinggiran sungai. Aku hanya berharap apa yang mereka dapatkan dari orang-orang terpelajar dari kota besar itu tak akan mengikis nilai-nilai budi pekerti dari ajaran leluhurnya, dari petuah adatnya, dari wejangan tetuanya. Aku hanya bisa berharap bahwa apa yang mereka lihat dapat memilah mana yang hak mana yang tidak. Mana yang layak untuk diserap mana yang harus ditolak.


Dan aku, hanya bisa menuliskan itu semua.

Hanya.



ooOoo








Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar