Jumat, 10 Desember 2010

Menanti Maghfirah Tuhan


Cakrawala senja perlahan menelan mentari dari pentasnya, segaris dengannya sinar mars yang kemerahan pertanda ucapan selamat datang wahai malam dengan gelapnya. Tahrim mushola ‘gotong royong’ berkumandang sebagai pengantar gema adzan, inovasi ataukah bid’ah…… rentan memang berdiskusi syariat agama tanpa hipotesa, yang ada gemuruh dendam pasca debat kusir mengklaim kapling syurga untuk pemahaman tertentu. Aku……? Aku tidak tertarik melibatkan diri pada salah satu komunitas jika yang ada berujung pada penikaman pemahaman tertentu dari sebuah konfidensi keyakinan sempit.


Segera kugantung Toalson 2300 raket badmintonku pada dinding kamar mungilku, lelah berolahraga sekedar menjaga kebugaran dan mengisi aktivitas sore di lingkungan camp adalah hal yang menyenangkan bagiku. Segera kuraih handuk berwarna hijau tentara menuju pemandian umum di bagian belakang mess, yah…. antre, sudah tradisi memang jam – jam segini rebutan kamar mandi.

Bersarung kotak kotak cokelat dengan t-shirt putih kupastikan langkahku menuju sumber panggilan orang – orang yang bersyahadat, kulihat jamaah lain sudah mulai berbaris mengisi shaf pertama pada kedua sisi-sisinya. (Ehemm…..biasa, orang–orang paling anti baris tepat di belakang imam, ‘ngga pantes’ kilahnya, apalagi didaulat jadi imamnya, hiiii makasih……..)

Aku……? lagi lagi tertinggal takbiratul ikhram, hingga harus menyesuaikan pada rangkaian shalat yang tengah berlangsung. ‘lagi ruku’, batinku, lumayan belum tertinggal. Yah, pendapat yang kuat dari salafus shalih yang aku tahu makmum belum tertinggal satu raka’at bila imam masih dalam keadaan ruku. So, full konsentrasi  meraih shalat yang khusyu’.

Raka’at terakhir, pendengaranku berbagi pada suara teriakan Wisnu dari teras rumahnya yang memang hanya berjarak 20 meteran dari masjid. (Ihiik…..aku koq tahu yah posisi tuh anak padahal kan lagi sholat…..?! he….he……itulah uniknya setan, ada aja cara buat ngga serius ibadah). Hingga kuucapkan salam sembari menolehkan kepala ke sisi kanan dan kiri pertanda berakhirnya shalat maghribku, aku beristighfar memohon ampun atas tidak sempurnanya ibadahku. Teriakan anak suku tidung berusia TeKa Nol kecil itu semakin menggila, nada suaranya kutebak hingga 2 oktaf bahkan mungkin masuk wilayah mezzo sopran saking melengkingnya. Seirama dengan tangis raungnya, ia kolaborasikan dengan menggedor pintu depan yang belum terbuka juga untuknya. Nalarku berdeskripsi, kemungkinan terdekat adalah karena Wisnu telah melanggar aturan rumah hingga ia dihukum tak boleh masuk rumah dengan mengunci dari dalam pintu rumahnya. Padahal ada ibu dan abahnya di dalam mendengar ‘taubat’nya dari balik balok pagar teras rumahnya. Perlahan, tangis itupun reda dengan terbukanya pintu oleh sang ibu sembari memeluk dan mengusap lelehan airmata sang anak pertanda amnesti telah didapatkannya.

Sobat pembaca, mungkinkah sang ibu dan abah tak mendengar teriak tangis buah hatinya tadi ?. tentu saja tidak. Ada kalanya ibu ‘membiarkan’ kita menangis dan berunjuk rasa. Tak cintakah sang ibu pada cintanya? Juga tentu saja tidak. Rasa cinta terhadap seseorang apalagi sang buah hati tak mesti dengan menuruti semua kemauannya, membiarkannya sementara seorang diri dengan tangis dan protesnya adalah sebuah tampilan rasa sayang untuk merecord pada internal hardisknya agar ia dapat mengenang ketika ia dihukum atas pelanggaran yang telah berulang kali ia perbuat. Sang ibu tentu menyayangnya sepenuh hati, namun memiliki cara yang tak seragam untuk mendidiknya.

Permadani hijau mushola mungil di pelataran bukit Jalai, dengan semilir angin dan gesekan daun jabon yang terdengar sayup perlahan. Aku menambahkan durasi dzikirku atas kejadian tadi. Mencari hikmah atas sebuah kejadian, meski dengan sebuah peristiwa tangis si anak kecil hasil olahan cinta dua manusia suku asli utara kalimantan itu. Ada kalanya kita mengetuk pintu taubat dengan menitikkan airmata dan sederet puisi pasar pagi mencari keridhoanNya. Kupastikan Tuhan mendengar tangis pinta dan ketukan pada ‘pintu’ itu. Ya…karena Ia memang Maha Mendengar. Dan Ia kupastikan membuka ‘pintu’ itu untuk kita kapan saja. Tidak ada istilah kadaluarsa bagiNya, selama denyut masih bergelora. Yang ada adalah kita yang terlalu bodoh dan lupa, tak memanfaatkan pengampunan itu untuk berbenah, malah mengulang dan mengulang dengan seenaknya.

Temaram kelam memastikan kedatangan sang malam di langit Sekatak Buji, daerah dengan satu BTS yang juga produsen pengekspor asap ke negeri pembunuh Munti. Hanya beberapa jamaah yang tertinggal mereview hari harinya dengan tertunduk lunglai. Aku berdiri mengakhiri ibadah mahdohku dengan do’a. Ya Rabb, jangan biarkan aku mengulang kesalahan yang sama hingga harus mengetuk ‘pintu’ yang sama pula. Dan janganlah Engkau bosan atas kedatanganku dengan membawa segudang kesalahan yang sama pula. Aku tak akan mengetuk pintu selain milikmu, karena aku bersaksi tiada yang pantas aku pinta selainMu.

Kulangkahkan kaki dari tempat suci ini, berharap kelak akan menjadi saksi atas ibadah yang tak seberapa ini.



--oo0O0oo--
Artikel Terkait
Comments
1 Comments

1 komentar:

  1. so emotional.. and i like it...
    banayk istilah2 arab yang ngag q ngerti mas...
    bid ah...
    takhrim..
    :) so far i like ur words

    BalasHapus