Senin, 30 Mei 2011

Rika Ramlan dan Sebungkus Tahu Tektek

“Aku sudah tidak di Ramayana lagi.” Begitulah sepenggal kalimat yang aku dengar dari suara sahabatku di ujung telepon.
“Lantas, sekarang bekerja dimana?” Tanyaku lebih lanjut.
“Maaf, lupa belum sempat memberi kabar. Aku sekarang bekerja di café, di bilangan Grand Tarakan Mall. Café milik Rika.” Jelas La sohibku.
“Café…?”
“Café Rika…?”, tanyaku butuh penjelasan.
“Waduh, maaf lagi.”
“Kamu sih, susah sekali dihubungi, jadinya ketinggalan informasi.” La menyalahkan.
Aku akui memang sulit dihubungi oleh teman-teman lamaku. Aktivitasku sebagai pekerja di areal konsesi pengusahaan hutan alam, memaksaku harus berada di lokasi yang terisolir dari keramaian. Bukan hanya itu, untuk berkomunikasi via telepon selular saja terkadang mengharuskan penggunanya mencari spot tertentu yang lebih tinggi untuk mendapatkan signal telepon. Memang di desa ini telah beroperasi satu jaringan operator selular, namun daya tampungnya masih sangat terbatas. Dengan kondisi demikian, aku masih tetap menjalin hubungan silaturahmi dengan sahabat-sahabat lamaku yang berada di luar pulau, tentu saja disela aktivitas rutinku yang cukup menyita waktu.
 “Café itu milik Rika, baru beberapa pekan dibuka. Café tersebut hadiah dari suaminya.
“What! Suami?”, potongku dengan penuh penasaran.
“Ia, suami.”
“Dengar dulu penjelasannya.”
“Oke, kita mengaku salah karena belum sempat memberi kabar. Rika sekarang telah menikah. Proses pernikahannya juga terbilang singkat, hanya keluarga dan beberapa teman yang menghadiri walimahannya. Meski bukan menjadi isteri pertama, tetapi Rika terlihat bahagia.” La menerangkan.
‘Rika, menikah.’
‘Lalu, tidak memberi kabar kepadaku.’
 Aku terus membatin dalam hati tentang cerita yang baru saja aku dengar tersebut. Dari La, sahabatku dan juga sahabat Rika. Kita bersahabat sedari masih kecil. Kita bertetangga, dan seusia. Sampai dengan SLTA kita masih satu sekolah, setelah itu kita berpisah dengan aktivitas masing-masing. Namun kita masih saling kontak dan temu sapa di beberapa kesempatan. Paling tidak pada saat lebaran, kita selalu bertemu.
Rika Ramlan

Aku masih mengulang kabar mengejutkan dari sahabatku tadi. Dari penjelasannya kudapat sahabat kecilku itu kini telah menikah sirri dengan seorang pria paruh baya. Pria pengusaha dengan isteri dan anak yang sudah tak kecil lagi. Rika, kini mengelola sebuah café di bilangan Grand Tarakan Mall. Café yang dikelola secara professional berbekal pengalamannya mencicipi beberapa café terbaik di beberapa kota. Dari sanalah secara otodidak ia bersama sang kakak, mba Miel membangun usaha baru. La, sahabatku pun turut serta bergabung di café baru tersebut.
ooOoo
Semilir angin bukit Terindak menyapa halus lembut wajahku. Aku terkadang mengambil rute jalan mendaki ini sebagai jogging trackku di beberapa pekan terakhir. Dari lokasi ini, aku dapat memandang jauh alam Kalimantan yang luas dan hijau. Bukit Terindak, di jalan koridor kecamatan Sekatak kabupaten Bulungan, kediamanku saat ini begitu permai, teduh dan menyejukkan.
Sebongkah batu tepat di atas bukit, tempat melepas lelahku. Di sisi utara terdapat sebuah gubuk pak Yujan, seorang warga pedalaman suku Dayak Brusu bersama isteri dan dua anaknya yang tak bersekolah. Sebuah potret keluarga khas Kalimantan di pedalaman yang seakan tak mau peduli dengan hiruk pikuknya dunia kosmopolitan di seberang sana. Keluarga kecil di pinggir hutan khas Kalimantan, hidup dengan pondok yang beratapkan daun nipah, dengan persediaan makanan secukupnya dan tak perlu mengisi rumah dengan perabotan seperti layaknya rumah tangga lainnya. Anak-anaknya dibiarkan bermain bertelanjang kaki dan baju. Luka-luka di betis, dibiarkan dihinggapi lalat seakan tak mengerti apakah luka itu akan infeksi ataukah tidak. Pak Yujan, dan begitu banyak potret keluarga pedalaman Kalimantan hidup dengan filosofi seadanya. Hari ini untuk hari ini saja.
Bukit Terindak - Bulungan

Inilah sesungguhnya salah satu alasan mengapa aku masih betah menghabiskan hari-hariku dengan bekerja di areal yang jauh dari gemerlap perkotaan. Sederhana saja, aku sangat mencintai suasana alam. Di lokasi ini, aku masih bisa menikmati dinginnya embun pagi di sela rindangnya pepohonan. Aku masih bisa memanjakan telapak kakiku di atas bebatuan sungai yang menghampar. Aku tak harus mengeluarkan beberapa lembar rupiah sekadar menceburkan diri dalam air tawar yang jernih. Dan aku tak harus bersusah payah mencari udara segar untuk memanjakan paru-paruku.
Di atas sebongah batu yang tepat menghadap ke lereng bukit Terindak ini, aku kembali mengenang masa kecilku dengan dua sahabatku yang berada di kota kecil di utara Kalimatan tersebut. La dan Rika. La masih sendiri, masih berkutat dengan kerasnya mencari rupiah dengan bekal sekolah menegah kejuruan. La kini tak lagi bekerja di department store yang kerap mendatangkan artis ibukota tersebut, tapi kini ikut bersama sahabatnya Rika mengelola café di sebuah mall kota Tarakan.
La, tipikal wanita yang penurut. Ia pandai memasak dan sangat patuh terhadap kedua orang tuanya. Hingga saat ini, ialah yang mengasuh Ayahnya yang kini hanya bisa terbaring di rumah. Ayah La, sedang menderita diabetes. Setidaknya, sebulan sekali La mengantarkan Ayahnya ke Rumah Sakit untuk proses cuci darah. Untuk saat ini, biaya pengobatan sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah kota setempat. Disela aktivitasnya sebagai pramuniaga, La menyempatkan berberes-beres rumah dan merawat Ayahnya. Sementara Ibu La, sudah menjadi kepala keluarga mencari nafkah sejak La masih duduk di bangku sekolah. Ibu La dan Ibuku adalah dua wanita tangguh yang mengabdikan hidupnya dengan membantu suaminya menopang kebutuhan keluarga dengan menjadi pekerja pabrik. Jika ibu La menjadi buruh pabrik kayu lapis, sementara ibuku, menjadi buruh pabrik udang ekspor. Tetapi La, masih beruntung, ia masih memiliki keduanya. Tidak sepertiku, yang harus ditinggalkan ibu ketika masih duduk di bangku sekolah, karena penyakit yang dideritanya.
Rika, aku mengenalnya sosok yang cerdas. Ia adalah sekretaris OSIS semasa SMP dulu. Karakternya kuat, ia tak pernah ragu mengekspresikan mau hatinya. Ia bisa marah kapan dia mau, ia juga tak segan meminta maaf atas salah dan khilafnya. Rika bukan pendendam, ia periang, lucu dan pintar. Kehadirannya selalu membuat suasana menjadi hidup karena caranya berinteraksi sangat cerdas dan responsive. Ia pendengar setia dan memberikan senyum manisnya seolah memamerkan lubang kecil di pipi kiri dan kanannya.
Sahabat kecilku itu, kukenal sebagai seorang penyanyi. Suara merdunya  mampu mencairkan suasana. Ia tak hanya bernyanyi namun berinteraksi dengan bahasanya yang santun. Bakat tersebut memang terlihat dari usia dininya. Kita, memang menghabiskan banyak waktu bersama. Bermain dan belajar. Kita selalu pulang sekolah bersama, yah… cuma pulang sekolah, karena kalau berangkat sekolah kita jarang berbarengan, karena Rika lebih sering telat bangun pagi. Mungkin bukan telat, tapi Rika selalu menyempatkan ‘olahraga’ pagi dengan balap lari mengejar gerbang sekolah yang hampir tertutup. Hingga kini, setelah lebih dari sepuluh tahun sudah kita tenggelam dengan aktivitas masing-masing. Aku masih sering mendapat kabar tentangnya, karena kita masih tetap menjalin komunikasi. Rika, masih aktif berbagi suara untuk menghibur orang banyak, sedang aku masih berkutat dengan tuts kibor ini. Mencari rezeki dari kesepuluh jariku tersayang.
Dua bulan setelah kabar tersebut, aku sedang berdinas di kantor Tarakan. Keberadaan yang tak lama ini aku sempatkan untuk mampir ke rumah sahabatku La.
“Hai, kapan datang…..”, tanyanya dengan riang
“Baru saja, apa kabar?”, aku bertanya kembali.
“Baik, ayo masuk. Kebetulan lagi buat rujak, bukankah kamu suka rujak?”, candanya.
“Baiklah.”
Aku, La atau Rika sudah seperti saudara kandung. Rumahku, ya rumahnya juga. Aku dan La beranjak ke bagian belakang rumah kayu berkolong tinggi ini. Kita bercengkerama di meja makan. Aku tak punya banyak waktu hari itu, karena harus kembali ke tempat kerjaku siang itu juga. Aku hanya ingin menanyakan kabar Rika, sahabat kami yang lebih dulu membina mahligai rumah tangga. Sebagai sahabat, aku merasa tak dianggap karena tidak diundang dalam hajatan tersebut. Tetapi dengan kondisi demikian aku berusaha memaklumi keadaannya.
“La, kabar Rika bagaimana?”, Tanyaku langsung
“Rika baik saja. Kenapa?”
“Oh, lalu suaminya?”. Aku lanjutkan bertanya.
“Suami?”,  La mengulang dengan dahi berkerut.
“Iya”.
“Katanya Rika sudah menikah dua bulan lalu, bagaimana sih”, tambahku menjelaskan.
Mendengar pertanyaanku tadi, La tertawa lebar cukup lama. Aku diam keheranan.
“Jadi kamu pikir cerita kita di telepon lalu serius?”.
“Kita hanya becanda.”,
“Masa ia kita tidak memberi kabar kalau kita nanti menikah, hahaha”. La masih tertawa.
Namanya La

Dari penjelasannya, aku baru tahu kalau aku telah dikerjain dua sahabatku ini. Saat meneleponku dua bulan lalu. La dan Rika sebenarnya sedang bersama di sebuah salon. Rika hanya tersenyum ketika La membual demikian pintarnya. Tak terdengar bohong di telingaku. Semua cerita yang dia buat benar-benar spontan sementara menunggu rambutnya yang sedang dicreambath. Cerita bohong itu ia tuturkan begitu natural. Tentang café, tentang jenis makanan yang mereka jajakan, tentang property yang melengkapi usaha mereka, tentang chef yang membidani menu mereka. Ah! semuanya terdengar perfect. Tidak ada celah di telingaku bahwa cerita silam adalah bohong. Aku benar-benar dikerjain mentah-mentah dua perempuan iseng ini. ‘Huh….awas!’, aku membatin sendiri. Aku akan buat perhitungan kelak.
“Hahaha, maaf ya. Makanya, jangan terlalu serius kalau bekerja”. La memohon maaf menutup rangkaian ceritanya.

ooOoo

Bulan Nopember di tahun yang sama, aku sendiri di dalam kamar mungilku. Sebuah kitab klasik karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, masih kupelajari di Bab Thaharah. Selain membaca karya-karya cendikiawan kontemporer semisal Syaikh Utsaimin, Albani ataupun Yusuf Qaradhawi aku juga membawa hasanah berfikirku mengarungi pemikiran-pemikiran plural semacam NurCholis Madjid hingga Siti Musdah Mulia. Aku juga membaca karya-karya orientalis negeri paman sam sebagai referensi. Pun tak terkecuali, novel karangan Habiburrahman, Asma Nadia hingga Andrei Aksana author cucu seniman ternama kita Armen Pane.
Kutatap langit kamar yang mulai berdebu. Tampak poster peta Indonesia di atas lemari sana, seolah menungguku melanjutkan trip backpackerku di cuti tahun depan. Sendiri di kamar ini, seakan mengejekku kapan berakhir kesendirian ini. Ponsel Sony Erricssonku bergetar. Bunyi irama Intuition milik Jewel semakin terdengar nyaring, pertanda ada SMS yang masuk ke nomorku. Terlihat gambar wanita cantik berkaos hitam dengan senyum khasnya. ‘Rika Ramlan’, ada SMS dari sobatku itu. ‘Tetapi ada apa malam-malam begini?’, tanyaku dalam hati seraya melihat jam di bagian sudut kanan bawah layar notebookku. Jam 11.12 malam. Apa ada sesuatu, tanyaku.
Cin, tahu kabarnya La tidak?”, kalimat khas SMS-an kubaca menanyakan keberadaaan sahabat kami La.
La, ada apa dengannya. Aku bertanya keheranan. Bukankah mestinya dia yang lebih tahu kabarnya, karena mereka sama-sama di kota Tarakan. Aku membalas SMSnya mengatakan aku tak tahu kabarnya, dan balik bertanya ada apa sebenarnya.
“La kabur dari rumah, sekarang ibunya malah melempar amarahnya kepadaku, karena dianggp aku yang tahu keberadaan La.” Demikian balasan SMS Rika buatku.
Aku diam, kembali aku terperanjat, hening. Ada apa gerangan dengan sahabatku yang satu itu. Ia kukenal orang rumahan. Tak macam-macam. Ia pandai memasak dan berbakti pada orangtuanya. Belakangan aku tahu ia juga mulai berbisnis MLM dan beberapa jaringan lain. Namun aku pikir ia tak ada masalah lain. Lantas. Kenapa ia kabur dari rumah. Ada masalah apa gerangan.
Segera kegerakkan jempol kananku memulai mengetikkan balasan SMS tersebut. Namun, sebelum aku kirim SMS tersebut, aku terdiam sejenak. Apa benar La melarikan diri? Rasanya tidak mungkin. Atau jangan-jangan aku dikerjain lagi oleh Rika. Teringat kejadian beberapa bulan silam ketika aku dikerjain dua perempuan cantik ini. Akhirnya aku cancel reply SMS yang hendak aku kirim tadi. Aku ganti dengan kalimat seolah-olah aku berada di Tarakan dan bersama dengan La.
“Jangan bohong deh. Aku lagi sama La koq. Wek.” Sms itu aku kirim ke Rika
“Hah! Jadi kamu di Tarakan? Kapan sampainya. Kenapa tidak beri tahu.”
“Tadi siang Cin. Makanya, lihat-lihat kalau mau bohong... hehe”. Aku meneruskan SMSku ke Rika seolah aku benar-benar berada di Tarakan dan sedang bersama La. (Hah, kali ini kutangkap dia ), giliranku mengerjai perempuan usil ini.
“Hehe...Iya deh sorry becanda, sekarang dimana nih?” SMS Rika
“Di teras, bersama La. Kesini yuk, kita lagi makan Tahu Tek-Tek loh. Tadi beli di depan masjid, mau?” Aku membalasnya.
“Ha! Mau banget. Kebetulan nih lagi butuh perbaikan gizi hehe.” SMS Rika
“Ya sudah, buruan. Masih ada satu bungkus loh. Kita juga baru makan koq.”
“Yah , sudah malam nih. Antar ke sini saja, gimana?” SMS Rika
“Ke sini dong, kita ngumpul nih.” Balasku agar Rika yang datang bergabung denganku dan La. Memang rumah kami bertiga berdampingan. Dan rumah La berada di tengah diantaranya. Namun teras rumah kami tak saling bertemu, kecuali teras rumahku dan teras rumah La. Rumah Rika terhalang oleh rumah lain dan juga pohon mangga.
“Kalian yang ke sini yah, sudah malam nih.” Rika kembali mengirimkan SMSnya.
“Ya sudah begini saja. Biar adil, kita bertemu di bawah saja. Dekat pohon mangga. Nanti aku antar Tahu Tek-Teknya.”
“Oke deh, Kalau begitu, aku keluar ya. Jangan lama-lama lho.”
Siip!! Jangan lupa bawa sendok!!!”, balasku.
Suasana hening beberapa saat. Tak ada sms masuk sesering tadi. Aku berpikir, mungkinkah Rika sedang keluar rumah, berada di bawah sana mengunggu kehadiranku membawakan Tahu Tek-Teknya. Jika ia, berarti aku berhasil membalas kekalahanku tempo hari.
Selang beberapa menit. Sms itu datang lagi.
Kubuka dan bertuliskan “imaaannnn…awaassss ya…”
Aku tak membalas sms itu. Aku hanya tertawa terbahak-bahak sendiri di dalam kamar. Ternyata, sahabat cantikku itu benar-benar keluar rumah menunggu datangnya Tahu Tek-Tek pesanannya. Seolah-olah aku akan datang mengantarkannya. Lama ia menanti, sampai akhirnya ia tersadar kalau-kalau ia sedang dikerjain olehku. Ia meraih BBnya, ia mencari nama La sahabatnya lalu menekan tombol dial. Panggilan itu terjawab, suara La terdengar berat. La bertanya ada apa menelepon malam-malam. Rika menanyakan, “La, mana Tahu Tek-Teknya?”
La menjawab di seberang telepon, “Tahu Tek-Tek apa?. Sudah malam nih, aku sudah tidur.”
Rika melanjutkan,”Loh, bukannya kamu sedang makan Tahu Tek-Tek dengan Iman?”.
“Tahu Tek-Tek apa Rika?, Iman tidak ada di sini, Iman tidak ada di Tarakan”. La menjelaskan
“Apa?, jadi tidak ada si Iman?”.
“Tidak  ada. Sudah ya, Aku ngantuk, besok aku masuk pagi. Sudah dulu.”
Tik. Telepon dimatikan dari seberang. Tinggallah Rika sendiri, dikeheningan malam bersama Tahu Tek-Teknya yang tak jua kunjung datang.

ooOoo
Artikel Terkait
Comments
4 Comments

4 komentar:

  1. Nice story.......iman aku hampir nangis bacanya.......kaget pas baca awal ny trnyata happy ending..... °˚ ˚°º≈HAHAº=D=)) HAHAº°˚ ˚°º≈=D=))º°˚ ˚ :* :* ♏ƱƋƋƋƋЂЂЂ:* :*

    BalasHapus
  2. Oom Iman,

    hihihi...ternyata, kalian saling mengerjai satu sama lain yaaa :p

    ck ck ck...hahaha...seru bacanya^^

    cuma kudu cari cara tuh kalau laen kali menyampaikan cerita serius yang sebenarnya agak nggak dianggap becandaan. Hihihi

    BalasHapus
  3. Rika Ramlan : love you juga.....
    Lomar : hehehe, itulah persahabatan......makasih kunjungannya.

    BalasHapus