Sabtu, 16 Juni 2012

Catatan Perjalanan Seorang Pecundang


Hening.


Diam.

Entah apa yang ada dalam benak mereka. Apakah sama dengan yang aku rasakan. Saat gelombang menghempas dengan keras, saat sang surya menyengat tanpa sekat, saat tangis itu memecah, sementara bercak darah di pipinya membuatku terhenyak, memaksaku terpaku, ada manusia baru terlahir di sini, di tengah lautan menderu, di terpa angin yang beradu. Dia terlahir, aku terdiam. Aku seakan seorang ayah yang melihat buah hatinya terlahir, atau seorang anak yang sedang melihat perjuangan seorang ibu menjemputnya ke dunia, atau seorang pecundang yang hanya bisa terdiam dan bungkam.


Aku menarik dalam nafas ini, hanya untuk menyelesaikan satu alinea pembuka cerita perjalananku kali ini.  Entah apakah makna dari semua. Begitu beratkah tulisanku, sehingga seolah ada beban ketika satu persatu aksara aku rajut menjadi sebuah cerita. Cerita tentang perjuangan seorang manusia yang melakukan persalinan dalam kondisi yang tak seharusnya.


Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Ankabuut 20)



Aku bukan seorang mufassir. Aku bukan Ibnu Katsir. Namun salahkah bila 'tanda' kusibak menjadi tafsir. Memaksaku menahan rahang, membendung linang yang akan mengalir.


Ayat suci tersebut seakan meninjuku, bahwa perjalanan ini bukanlah tanpa arti. Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya,. Ya. Sekali lagi saya berjalan, membuat jejak mencari ibrah, hingga proses ‘penciptaan’ manusia itu aku temui, aku saksikan, aku lihat, aku dengar, meski aku hanya bisa berdiam, bungkam, dan menjadikannya sebuah tulisan. Aku memang pecundang, yang tak berarti apa-apa.


***

Sungai Sekatak
Sungai Sekatak. Kalimantan Timur. Dalam tiga puluh hari, sepertinya hanya lima hari sungai ini terlihat indah. Sungai ini akan menjadi tenang, berair jernih, jika tak turun hujan. Namun kesehariannya, air sungai ini tak ubahnya air susu yang berpadu air kopi, berwarna kecokelatan. Tak usah menyalahkan eksploitasi alam sebagai penyebabnya, karena hanya akan menambah jumlah manusia pencela pada akhirnya. Sungai ini masih berdampak pada pasang surut air laut, hingga di waktu-waktu tertentu, air sungai terkadang terasa payau. Di tepi sungai inilah, aku menghabiskan lima tahun terakhirku. Sungai ini juga yang mengantarkanku menuju kota terdekat, Tarakan, dengan menggunakan kapal cepat (speed boat) berukuran kecil berkapasitas lima hingga tujuh orang penumpang.


Aku menuju Kota Tarakan, menggunakan speed boat yang telah penuh oleh penumpang. Di bangku depan, sejajar dengar motoris, aku duduk menerobos angin, membelah air sungai perlahan. Di sebelahku, seorang pekerja perusahaan perkayuan berperawakan besar. Hanya menggunakan tas ransel butut, dan berjaket dari bahan jeans. Penumpang pria ini, berambut keriting dan berwarna kulit gelap.


Sementara di bangku belakang, terdapat dua orang penumpang pria dewasa, dan dua orang penumpang wanita dewasa. Satu wanita telah berusia lanjut, sedang satu wanita lagi adalah wanita berusia dua puluh lima tahunan yang sedang mengandung. Wajahnya terlihat tanpa bedak apalagi pewarna bibir, rambutnya dibiarkan diikat seadanya. Wanita itu duduk sambil memegang sebuah tas berukuran sedang.


Langit tampak cerah, air sungai terlihat kotor dengan batang-batang kayu yang terbawa dari hulu, tampak pohon-pohon nipah di setiap tepi sungai laksana pagar yang membentang. Sesekali terlihat gubuk-gubuk reyot yang entah apakah masih berpenghuni ataukah tidak. Setengah jam perjalanan terlihat perkampungan nelayan yang tak ramai. Perkampungan dengan rumah seadanya, beratapkan daun nipah, dengan pelataran yang tak tersusun rapi. Perkampungan yang memang menggantungkan peruntungan dari hasil laut dan juga sungai.


Beberapa meter ke hilir, tampak perusahaan pertambangan batu besi yang berdiri gagah. Beberapa kapal tongkang yang telah berisi maupun yang antre, menjadi pemandangan tersendiri di tepi sungai. Terlihat beberapa dumptruck dan excavator tengah beroperasi, dermaga perusahaan yang terlihat rapi dan terjaga, serta beberapa pekerja lengkap dengan topi safety-nya .


Sungai ini mulai melebar, sepertinya telah bercampur dengan air laut. Di sisi kiriku, tampak sebuah delta menyerupai bukit. Orang menyebutnya sebagai Pulau Srilaki. Pulau tak berpenghuni yang menjadi batas bahwa setelahnya kita akan mulai memasuki perairan yang terkadang tak ramah, seperti pada perjalananku kali ini.


Boat yang aku tumpangi melaju mengikuti irama riak air laut yang menghentak. Suara mesin boat memekakkan telinga. Perut terguncang, seakan berada dalam kendaraan roda empat yang melintas di jalan berlubang. Kondisi seperti ini, adalah kondisi yang biasa dijumpai oleh penduduk pedalaman yang ingin ke perkotaan. Melewati riak gelombang, dalam sampan yang bergoyang.


Ada sedikit kegaduhan dari bangku belakang. Suara mesin boat yang ribut membuat aku tak terlalu peka dengan sekitar. Aku menoleh ke belakang. Ternyata penumpang wanita yang sedang mengandung tersebut telah berbaring di lantai speed boat yang sempit dan kotor. Lantai yang seluas permukaan meja kerjaku itu, ia merebahkan diri sambil menekuk kedua kakinya. Sementara dua penumpang pria lagi berpindah tempat di bibir speed boat, duduk mengarah ke buritan boat. Sedang penumpang wanita berusia lanjut, terlihat mendampingi si wanita yang terkulai dengan daya yang tersisa.


Apa yang terjadi. Aku bertanya sendiri, sekaligus menjawab sendiri. Hentakan air laut sepertinya berpengaruh pada kondisi si ibu yang sedang mengandung tersebut. Memang, dalam kondisi normal saja, hentakan gelombang laut sudah cukup menyiksa tubuh penumpang dengan terhempas-hempas. Apalagi untuk wanita yang tengah mengandung tersebut.


Perjalanan masih satu jam lagi untuk dapat merapat ke kota. Tak mungkin berbalik arah, karena jarak yang relatif sama. Aku hanya bisa berdiam, sama seperti penumpang pria yang lainnya. Sesekali aku menoleh ke belakang, melihat perkembangan yang berlaku. Wanita itu terbaring sambil mengangkat kedua lututnya. Tampak selembar handuk yang telah pudar warnanya  menjadi alas di bagian pahanya. Sedang penumpang wanita paruh baya itu, terus berada di sampingnya. Saya tak tahu pasti, apakah wanita paruh baya tersebut memang keluarga yang mendampinginya ataukah penumpang lain yang satu keberangkatan dengannya.


Tak ada yang bisa dilakukan dengan maksimal, selain menunggu kapan boat ini akan sampai. Sungguh, aku tak tahu harus melakukan apa, harus membantu apa. Hanya terdengar suara rintih mengaduh dengan jelas. Sungguh suara yang mengiba dan membutuhkan pertolongan. Kami hanya menunggu, menunggu dan terus menunggu. Menunggu nyatanya keajaiban doa, agar diberi keselamatan untuknya dan buah hatinya.


Pesisir kota paguntaka terlihat, sinyal ponsel mulai tertangkap. Sang motoris menghubungi ambulance agar dapat menjemput di Dermaga Tengkayu Tarakan. Sang ibu paruh baya terus memberikan semangat bahwa sebentar lagi boat akan merapat. Bertahanlah. Bertahanlah.



Aku memalingkan wajah

Siapa aku sebenarnya

Apa yang Kau mau Tuhan

Kau perlihatkan sebuah penciptaan

Kau pertontonkan opera kehidupan

Riak terus mengguncang

Rintihnya memillukan

Sementara Kau mempersaksikan

Saat ini akulah sang pecundang



Kita telah sampai di perairan kota Tarakan. Telah tampak keramaian dengan aktivitas kapal di tepi pelabuhan. Namun tali kapal ini belum bisa ditambatkan. Gelombang laut yang mengguncang, akan berpengaruh dengan dinding dermaga untuk boat yang beruran kecil ini. pelabuhan ini memang hanya untuk boat yang berukuran besar. Sementara boat-boat kecil dari pedalaman kalimantan biasanya ditambatkan di Pelabuhan Beringin dengan didesain untuk boat-boat tersebut. Namun kali ini, karena di dalam boat terdapat penumpang yang akan dipindahkan ke mobil ambulance, pelabuhan Tengkayu-lah yang menjadi pilihan.


Boat ini belum bisa merapat. Belum terlihat mobil ambulance datang menjemput. Boat hanya terombang-ambing di lautan di tepi dermaga. Sementara air laut tak juga menenangkan gelombangnya. Terdengar suara yang beradu. Seperti lagu yang tak merdu. Ritmenya semakin laju. Dua suara wanita terdengar tegar, menghujam, mengharap perlindungan dari Tuhan. Sebuah perjuangan, motivasi, dan tentu saja doa.


Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo`a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni`mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (QS. Al Ahqaaf 15)




Dua suara wanita itu kini menjadi tiga. Ya! satu suara hadir diantaranya. Suara yang lebih kecil namun terdengar sangat indah telah sampai di gendang telinga. Aku kembali menoleh ke bangku belakang. Ada penumpang baru di boat ini. penumpang cantik yang paling suci diantara semua penumpang yang ada. Penumpang yang terus menangis kecil. Ah, mungkin bukan tangis, tapi doa, doa untuk kebaikan ibunya yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk kelahirannya.

Sang ibu muda tersebut masih terbaring terkulai. Bayi mungil itu berada dalam pelukan sang ibu paruh baya. Sementara di atas dermaga telah tampak mobil ambulance yang baru saja datang. Drama ini berakhir. Sang ibu dan buah hatinya dipindahkan ke mobil ambulance untuk perawatan medis selanjutnya. Aku, kembali melangkahkan kaki untuk ribuan tanya akan maksud Tuhan melibatkanku dalam perjalanan hati kali ini.

Aku bukan seorang mufassir
Aku bukan ibnu katsir
Namun salahkah bila tanda kusibak menjadi tafsir
Memaksaku menahan rahang, membendung linang yang akan mengalir

Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Ankabuut 20)


***

Artikel Terkait
Comments
20 Comments

20 komentar:

  1. indah... *terharu sampe meneteskan air mata

    BalasHapus
  2. jujur saya belum baca semua kita singgah di taman ini, dan langsung saya baca bagian akhir.. membuat saya ingin blog roll ke atas mengulang cerita..

    Catatan yang indah :) salam dari Surabaya
    ericka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam juga dari Kalimantan... Surabaya, saya punya beberapa sahabat di sana. Terimakasih telah berkunjung.

      Hapus
  3. Indah sekali. Blog Anda saya bookmark untuk kemudian saya baca di waktu senggang. Sayang untuk dilewatkan setiap kisah perjalanan Anda :)

    -Gozali

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas kesediannya menandai blog saya, salam kenal mas Gozali. Mohon maaf agak telat responnya, maklum, signal sangat terbatas di sini, hehe.

      Hapus
  4. Subhanallah...
    Indahnya cara Allah untuk membuat kita belajar...

    BalasHapus
  5. merinding membaca ceritanya, saya sendiri pernah melalui rute malinau-tarakan ataupun nunukan-pembeliangan tapi kalau melihat ceritanya rutenya tidak separah yang ini memang butuh perjuangan transportasi yang berat untuk menjangkau daerah pedalaman di kaltim saLAm (fakhruddin)

    BalasHapus
  6. massa allah kata-kata nya sungguh indah........... sumpah aku terhru

    BalasHapus
  7. Sebagai orang yang pernah mendampingi persalinan buah hati, saya terenyuh, takjub sekaligus ngeri membayangkan pengalaman kamu sahabat...beruntung, Engkau dapat secara lgsg merasakan betapa perjuangan Perempuan saat melahirkan plus kondisi di speedboat dengan ombak2 yang keras (tapi kamu bukan pecundang hanya karena tak dapat berbuat, tapi kamu diberi kesempatan indah dan berharga menjadi saksi keteguhan si Ibu dan detik2 menyambut manusia baru), saya suka kalimat "AKU KEMBALI MELANGKAHKAN KAKI UNTUK RIBUAN TANYA AKAN MAKSUD TUHAN MELIBATKANKU DALAM PERJALANAN HATI KALI INI"...sulit dibayangkan betapa tegar dan kuatnya fisik si Ibu dalam kondisi seperti itu dapat melahirkan dengan selamat tanpa pendampingan Bidan,Dokter dan peralatan medis memadai...Kuasa Allah, Subhanallah!
    NICE STORY

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah sebabnya (mungkin) mereka yang gagal melakukan persalinan (baca ; meninggal dunia) akan diganjar pahala syahid.
      Terimakasih sobat...

      Hapus
  8. mas iman, subhanallah euy...
    iseng2 baca-baca tulisan mas iman yg lain nya... ternyata cocok nich jadi penulis, andrea hirata kalah mas.. dasyaaattt :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisan saya, semoga alurnya bisa membuat Silva teringat kembali bahwa rute tersebut pernah Silva dan teman-teman lalui.

      ga ada apa-apanya saya dibanding penulis betulan, hehe.

      Hapus
  9. iya mas, jadi ingat pas perjalanan PKL ke sekatak. pertama kali naik speed boat itu rasanyaa , sereem tp pas udah ditengah lautan mulai menikmati perjalanan hehhe...
    ah mas iman ini bersifat seperti padi, beneran lho tulisan nya keren2...
    sangat menginspirasi,

    kapan2 wajib berguru nich masalah pengalam ke mas iman hehehe
    (yang tepatnya sich mencari dan mencuri ilmu nya hehhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, semoga bisa bertemu lagi di lain kesempatan.

      Hapus
  10. mas,catatan anda benar2 luar biasa menyentuh,minimal buat saya... (y).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, ditulis dengan sangat sederhana dan apa adanya. Terimakasih telah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan saya. Salam kenal.

      Hapus