Apakah
saya menyesal, jera atau kapok untuk ke Pulau Lombok?
Jawabannya tentu saja, “Tidak!”.
Mengapa?
Karena Holiday is Lombok Sumbawa
Holiday kini bukan hanya dominasi kaum seret travelbag atau jinjing hermes. Holiday juga bisa dinikmati kaum ransel yang
disebut backpacker . Pulau Lombok dan
Sumbawa tentu saja menjadi pilihan oleh dua kaum berbeda isi dompet tersebut.
Ketenaran akan lucunya si nemo serta aroma adventure
gunung tercantik membuat dua pulau ini selalu menjadi buah keyboard para travelwriter.
Tentu saja bukan untuk menuliskannya secara deskriptif tetapi lebih ‘memprovokasi’
pembaca bahwa Pulau Lombok dan Sumbawa memang harus segera dikunjungi.
Keindahan
pulau ternyata tidak dibarengi dengan cerita indah ketika berurusan dengan para
penyedia jasa transportasi semisal ojeg dan supir travel. Kedatanganku pertama
kali ke Pulau Lombok saat itu memang tidak menyisakan cerita kelam, justru asik. Dengan tema solo backpacker, aku menjamah pantai-pantai indah Pulau Lombok kala
itu. Hingga pada saat perjalanan dari Kota Mataram menuju Pantai Kuta aku
menyewa ojeg untuk mengantarkanku ke sana. Saat di tengah jalan dari kejauhan
kami melihat ada pemeriksaan kelengkapan surat kendaraan bermotor. Si ojeg saat
itu berhenti dan kebingungan. Ternyata si ojeg bukan hanya tak memiliki SIM tapi
sepeda motornya pun tak dilengkapi STNK.
#berpikirjenius
#carijalantikus
Tak
beberapa lama kami terdiam, datanglah sesosok malaikat bercangkul yang
memberikan jalan lurus, jalan yang diridhoi. Kami disarankan untuk melewati
jalan kecil pematang sawah untuk menghindari pemeriksaan itu tadi. Kami menurut
saja melewati jalan setapak berbatu hingga akhirnya aku bisa menikmati
pemandangan khas pedesaan Pulau Lombok yang eksotik tersebut. Hamparan sawah
yang menguning, bangunan masjid yang megah serta jalan keluar desa yang tak
juga berakhir ke jalan raya.
Si
ojeg gerah, mulai panik karena tak hapal jalan.
Sedangkan
aku menikmati keindahan desa yang memang di luar rencana. Sungguh benar kata
orang bahwa tersesat itu indah.
#tersenyumlicik
#jepratjepret
Pantai Kuta Lombok (Dok Pribadi) |
***
Kedatangan
selanjutnya aku ke Pulau Lombok adalah untuk mendaki Gunung Rinjani pertengahan
tahun 2013. Kami hanya bertiga saat itu, satu pendaki berasal dari Kota Malang,
satu pendaki lagi berasal dari Kota Banjarmasin. Kami menyepakati memilih
penerbangan yang sama dari Bandara Juanda agar bisa bersama-sama saat di
Bandara Int’l Lombok (BIL). Apa lacur, ternyata jadwal penerbanganku dari Kota
Tarakan menuju Kota Surabaya direschedule.
Itu artinya aku akan menggunakan armada lain untuk melanjutkan perjalanan ke
BIL. Itinerary yang seharusnya landing sore hari berubah menjadi malam
hari. Nah, kejadian di bandara inilah yang menjadi inti ceritaku kali ini.
Saat
aku tiba di BIL, dua temanku tersebut sudah menunggu di loby kedatangan
penumpang. Jam sepuluh malam, ternyata sudah tidak ada jadwal Bus Damri menuju
Kota Mataram. Kami memutuskan untuk menggembel saja di bandara yang sangat
tampak bersih ini. Akan tetapi saat itu kami sudah dikerumuni para supir travel
yang menawarkan jasanya.
Harga
yang ditawarkan supir travel untuk rute BIL – Desa Sembalun (tujuan kami
selanjutnya) adalah enam ratus ribu rupiah. Sebelumnya saya juga sempatkan
berkonsultasi dengan teman-teman backpacker yang pernah menggunakan jasa
tersebut dan mereka bilang bahwa angka itu terlalu besar, rate biasanya adalah di
angka empat ratus ribu rupiah. Angka itu juga aku peroleh dari seorang backpacker lokal yang juga terhubung
dari komunitas backpacker media
sosial.
Kami
menolak halus saat itu dengan alasan tak cukup dana dan berniat menggunakan Bus
Damri besok paginya. Namun ada satu supir travel yang akhirnya menyepakati
harga kami dengan syarat keberangkatannya hanya bisa pagi hari besoknya (pukul
empat pagi). Kami mengiyakan, sepakat dan akan tetap bermalam di bandara lalu
dijemput saja besok paginya.
Lalu
si supir travel tersebut menawarkan kebaikan hatinya untuk memberikan tumpangan
di rumahnya yang tak jauh dari bandara. Kami menolak khas orang Indonesia
(tolak-tolak mupeng), hingga akhirnya
luluh mengikuti ajakan si supir travel.
Kami
memasukkan semua keril ke mobil lalu diantar ke sebuah rumah yang memang tak
jauh dari bandara. Saat itu di desa tersebut sedang ada hajatan pernikahan,
kami diajak untuk melihat hajatan tersebut setelah menyimpan semua keril kami
di rumah sederhana si supir tadi. Sekitar jam sebelas malam kami kembali ke
rumah untuk istirahat.
Saat
di rumah supir travel kami dikenalkan dengan dua orang pria lagi di sana. Aku
berpikir mereka adalah kerabatnya, karena komunikasi mereka menggunakan bahasa daerah
setempat. Setelah itu si supir travel pamit dan berkata, “masnya diantar bapak
itu besok pagi”.
Dipotoin Faris Yahya - Lokasi Segara Anak Rinjani |
#husnuzon
Di
dalam rumah ‘titipan’ itu kami berbincang dengan dua pria yang baru dikenalkan
tadi. Pembicaraan awal didominasi tentang keindahan Gunung Rinjani dan hal-hal
yang sebaiknya dihindari oleh pendaki. Mereka juga berbagi pengalaman seringnya
mengantar para turis ke desa gerbang pendakian tersebut. Kami menikmati saja
sebagai tambahan informasi yang berguna nantinya. Hingga beberapa lama, si pria
tersebut mengatakan bahwa mereka yang akan mengantarkan kami ke desa tersebut
besok pagi.
Pembicaraan
selanjutnya membahas masalah harga yang harus kami bayar ke mereka.
Deg!.
Aku
katakan bukannya sudah ada kesepakatan sebelumnya dengan pak supir yang kami
temui di bandara tersebut, itu sebabnya mengapa kamipun mau diinapkan di rumah
ini. Akan tetapi si pria tersebut menjelaskan bahwa ; pertama, harga yang disepakati tersebut sangat
rendah dan tidak ada supir yang akan mau mengantarkan kami di harga tersebut.
Kedua, rumah ini bukan rumah si supir itu tadi. Ketiga, supir itu tadi juga
belum pernah menuju Desa Sembalun sebagai tujuan kami jadi ia tidak tahu medan
dan jarak ke sana. Keempat, kelima dan seterusnya si pria ini saling menimpali
bahwa kami harus menambah dua ratus ribu rupiah lagi untuk sampai di sana.
#diam
#berpikirjernih
#salingtatap
#jatuhcinta
-Yang
terakhir abaikan-
Terjadilah
perdebatan saat itu. Saya yang memang dituakan di team kali ini berusaha untuk tetap bertahan di angka yang memang
sudah disepakati dengan si supir bandara tadi. Berdebat, beradu argumentasi.
Mereka terus menambahkan alasan lain seperti bahan bakar, medan yang rawan
perampokan, kondisi jalan yang buruk bla bla bla dan seterusnya. Rasanya hampir
lebih lima belas menit kami membahas harga tersebut, hingga akhirnya jalan
tengah mereka tawarkan lagi.
“Begini
saja, masnya kan 400 sedangkan harga
sebenarnya 600, kita ambil tengah saja 500 ya”, tawar si pria tersebut.
Dua
pendaki temanku kala ini hanya mengiyakan saja keputusanku. Hari sudah gelap,
sudah terlanjur berada di rumah yang entah di desa manakah itu. Seratus ribu
bukan angka yang sedikit buat kami. Ogah, kami tetap menolak. Dan akhirnya
akupun angkat bicara.
“Pak
kami ke sini bukan seperti turis-turis lainnya, bisa sampai sini pun kami dapatkan
dari tiket promo. Berapapun yang Bapak minta, kami ga bisa penuhin karena
uang kami memang mepet banget”.
Jawabku meyakinkan.
#ngenesbanget
Hari
semakin larut. Kesepakatan tak juga bermuara. Hingga akhirnya saya memberikan
opsi untuk mengantarkan kami kembali saja ke bandara tempat awal kami bertemu
si supir tadi. Kami akan menggunakan Bus Damri saja besoknya dari bandara.
Mereke
melemah. Akhirnya mengiyakan untuk mengantarkan kami besoknya di harga awal.
Empat ratus ribu rupiah.
#berhasil
#ketawasetan
Dipotoin Faris Yahya - Sunset Plawangan Sembalun |
***
Cerita
di atas adalah pengalamanku berada di Pulau Lombok yang harus berurusan pelik
dengan jasa transportasi. Lain cerita kedatangan lain pula cerita kepulangannya.
Saat itu kami sudah sampai di Terminal Mandalika setelah turun gunung melalui
Desa Senaru. Seperti biasa kami disambut para tukang ojeg, panjaja t-shirt oleh-oleh hingga supir travel
lagi. Kami terus berlalu menuju ruang tunggu. Beberapa orang menanyakan rute
kami dan kami jawab ingin ke bandara dan menunggu Bus Damri. Mereka mengatakan
bahwa Bus Damri tidak melewati rute terminal. Oleh karenanya kami harus
menggunakan jasa mereka untuk menuju terminal khusus damri yang jaraknya jauh
dari Terminal Mandalika. Kami tetap saja berjalan, sedangkan mereka terus
menawarkan jasanya sambil terus mengatakan bahwa Bus Damri tidak akan ke
terminal.
“Cih, masa iya ada bus yang ngga masuk terminal”, gerutuku sendiri.
Aku
terus berjalan mencari petugas berseragam. Dua temanku aku tinggalkan di ruang
tunggu sedangkan aku berkeliling terminal mencari petugas. Tak tampak. Tak
terlihat. Tak ada satupun petugas berseragam saat itu. Hingga akhirnya aku tiba
di bangunan lain agak ke ujung bagian terminal. Aku masuk dan ruangan ber-AC
tersebut. Di situ ada petugas berseragam. Segera saja aku tanya, apakah Bus
Damri melewati rute terminal. Si petugas mengiyakan dan menyarankan kami untuk
menunggu di ruangan tersebut.
***
Sebelum
kedatangan kami di Terminal Mandalika dari Desa Senaru, ada juga cerita kelam
lagi di guesthouse tempat kami
menginap di Desa Senaru. Kami sampai di Desa Senaru pukul 20.00 wita. Kami
putuskan untuk mencari penginapan dan melanjutkan perjalanan besoknya. Kami
mendapatkan satu kamar untuk bertiga di harga seratus ribu rupiah.
#100/3
#sharecost
Paginya,
sebelum melanjutkan perjalanan kami sempatkan ke basecamp pendakian terlebih dahulu untuk mencari merchandise. Backpacker beli
oleh-oleh? . Nah, saat kami keluar guesthouse
tersebut sudah ada tiga ojeg di halaman depan. Kami tersenyum saja melewati
mereka dan terus berjalan menuju basecamp
yang berjarak sekitar dua ratus meter dari guesthouse.
Sesampainya di halaman basecamp kami
dihampiri seorang ojeg yang menawarkan jasanya untuk mengantarkan kami ke
persimpangan pasar tempat ngetemnya
minibus tujuan Terminal Mandalika. Harga yang ditawarkan saat itu adalah
sepuluh ribu rupiah. Kami mengiyakan dan memesan untuk tiga orang.
Setelah
dari basecamp kami kembali ke guesthouse untuk mengambil keril. Si
ojeg yang ikut mengantar kami dari basecamp
tadi menunggu di halaman depan. Ketika kami selesai berbenah dan bersiap untuk
berangkat, kami tidak menemukan lagi tiga ojeg kami tadi. Kemudian tiga ojeg
lain yang ada di halaman guesthouse yang memang sejak pagi sudah ada di situ
menghampiri dan mengatakan bahwa merekalah yang akan mengantar kami.
Saat
itu saya katakan bahwa saya sudah menggunakan ojeg lain, dan sudah ada
kesepakatan (termasuk harga). Si ojeg (awal) mengatakan bahwa mereka sudah
sejak pagi menunggu kami dan merekalah yang harus mengantarkan kami. Padahal
diantara kami belum ada pembicaraan apapun. Terjadi sedikit perdebatan pagi
itu, termasuk tentang harga yang mereka patok ternyata lebih mahal dari harga
yang kami peroleh dari harga si ojeg sebelumnya.
Singkat
cerita kami mengiyakan saja apa maunya si ojeg, termasuk harga yang mereka
tetapkan. Kami menumpang di motor mereka, dan sepertinya mereka lupa bahwa dua
benda besar yang mereka bawa saat itu salah satunya adalah benda bernyawa.
#dzikrullah
***
Fiuhh. Menjadi seorang pejalan memang akan
berhadapan dengan oknum-oknum terminal yang membosankan. Entah itu di terminal
bus, pesawat apalagi di terminal kapal laut. Pulau Lombok yang terus berbenah
menarik minat kunjungan wisatawan sebaiknya tak menapikan bahwa wisatawan kelas
ransel juga butuh perhatian. Memang jika menggunakan jasa guide dan travel tour,
semua perjalanan akan aman dan nyaman. Akan tetapi sebaiknya pemda dan instansi
terkait juga bisa mempertimbangan kehadiran wisatawan kere seperti kami bertiga (beserta kloningannya). Jenis wisatawan
kelas regular ini lebih memilih transportasi umum karena lebih murah meski dengan
konsekuensi akan bertemu para oknum terminal yang bisa merugikan dan membuat
nama daerah wisata menjadi buruk.
***
Dari
keseluruhan cerita saya di laman ini, apakah saya menyesal, jera atau kapok
untuk ke Pulau Lombok?
Jawaban
saya tentu saja, “Tidak!”.
Mengapa?
Karena Holiday is Lombok Sumbawa
Spot di Danau Segara Anak - Photo by Faris Yahya |
#salampariwisata
***
Artikel Terkait
Salam kenal bang iman. Saya suka tulisan tulisanmu...kereeen
BalasHapusTerima kasih. Salam kenal juga...
BalasHapusAmazing! Pengen ke sinii :')
BalasHapusterima kasih niki.....
Hapus@imanrabinata
baca ini jadi merindukan pulau lombok.
BalasHapusdi update lagi dong mas blog nya hehe..
dan mampir juga ya ke www.shu-travelographer.com salam ransel