Selasa, 23 Januari 2018

Sembalun

Laki-laki muda itu datang. Tubuh tinggi atletis, dengan balutan jaket outdoor berwarna hijau ia menghampiriku seraya menghempaskan keril besar di punggungnya. Saat itu memang hanya ada tenda kami saja di tempat tinggi itu. Ia duduk kelelahan. Rambutnya tak beraturan. Celananya berdebu. Kulit putih bersihnya sekarang ternoda. Tanpa salam pembuka, ia meminta air minum dengan santainya.





“Sendiri saja?”, tanyaku seraya memberikan sebotol air minum.
“Berdua mas”.
“Saya tinggalkan dia jauh di belakang”, ia melanjutkan.
“Bagaimana saya tidak kesal, kalau mau kegiatan outdoor begini harus punya tenaga!. Kalau begini saya sendiri kan yang kesusahan. Jalannya benar-benar lambat“.
“Akhirnya saya tinggalkan saja dia”.
“Harusnya kami sudah sampai beberapa jam lalu. Mendirikan tenda, memasak dan bersiap untuk perjalanan selanjutnya. Tapi, coba lihat sekarang”, Ia terus melanjutkan gerutunya.

Aku diam saja membiarkan ia berkeluh kisah. Ia membiarkan kedua kakinya berselonjor santai di tanah sambil melihat lekukkan danau yang terlihat di kejauhan.

“Fisiknya lemah?”, tanyaku
“Fisiknya oke mas, staminanya yang lemah”, jawabnya seakan mengoreksi kalimat tanyaku.
Kali ini ia mulai membuka isi kerilnya. Mengeluarkan frame dan tenda. Aku membantunya merakit satu demi satu frame hingga terjalin dan membentuk bulatan. Membangunnya, lalu merekatkan tenda di setiap ujungnya. Tenda berdiri. Ukuran tenda itu sesungguhnya berkapasitas empat orang, tak efisien buat mereka yang hanya berdua mendaki gunung ini.

Aku kembali ke tendaku setelah kulihat ia sudah bisa memasuki tendanya dan membereskan perlengkapan mendakinya. Aku tak sendiri, di tenda aku bersama Faris dan Edgar. Tenda kecil ini seakan dipaksakan untuk menampung kami bertiga. Kami memang sangat indonesia, bertubuh rendah dan punya senyum yang murah. Sehingga tenda yang idealnya hanya untuk dua orang, kami jejalkan menjadi tiga. Kalau untuk leyeh-leyeh seperti di lobi hotel, tenda ini memang bukan peruntukkannya. Tapi kalau untuk beristirahat tidur malam, berjejalan di tenda ini lalu terbungkus dengan sleepingbag masing-masing, membuat suhu udara menjadi lebih hangat.

Ini adalah hari ketiga perjalanan kami menuju puncak Gunung Rinjani. Malam pertama kami lewatkan di sebuah perkampungan penduduk di sekitaran bandara. Malam kedua, kami telah lalui di tempat ini, Plawangan Sembalun. Plawangan Sembalun adalah sebuah lokasi camping Gunung Rinjani sebelum menuju puncak. Berupa punggungan luas yang hanya ditumbuhi beberapa pohon saja. Selebihnya, area ini hanya ditumbuhi rerumputan dan bunga edelweis. Dari sini, terlihat jelas Danau Segara Anak dengan anak gunung Baru Jari di tengahnya. Puncak gunung juga bisa terlihat dari sini. Kabut tebal, barisan awan atau deru suara angin menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk menghabiskan sisa waktu di tempat ini. Kawanan kera juga tanpa takut selalu berdatangan mencari sisa-sisa makanan pendaki. Seharusnya kami hanya melewatkan separuh malam di tempat ini. Kemudian melanjutkan perjalanan di puncak dini hari. Akan tetapi, karena kami masih kelelahan, kami memutuskan untuk menambah waktu istirahat satu hari di tempat ini. Jadinya, satu hari penuh kami lewati dengan menikmati kesunyian di tempat ini. Keindahan, cerahnya langit hingga lembapnya udara terasa begitu pantas untuk disyukuri dengan keberadaan kami yang nihil.

Menelusuri pagi di Sembalun bukanlah sebuah kemonotonan. Sungguh, diantara hari yang telah terlewati dalam sebuah perjalanan, sehari di Sembalun tanpa aktivitas menjadi semacam meditasi untuk memulihkan banyak hal. Memulihkan tenanga, kepenatan hidup atau keringnya ‘tanaman’ rohani di dalam diri. Pagi yang sangat cerah, namun tetap harus melipatkan kedua tangan saat berdiam. Tak ada yang tak indah di tempat ini. Di ketinggian. Kita bebas melihat kemana saja tanpa halangan. Awan beriringan, laut di kejauhan, hamparan pemukiman, perbukitan, danau, puncak ketinggian, ataukah ilalang membentuk hamparan.

Sesekali aku berdua dengan Faris, sesekali aku berdua dengan Edgar, sekali waktu aku yang sendiri menjaga tenda dan membiarkan mereka berdua yang menikmati segarnya udara. Menyiapkan makanan, mengambil air minum dari celah bebatuan atau sekadar membereskan perlengakapan. Kami menikmati hari ini dengan malas dan kesunyian.

Menjelang siang, beberapa pendaki yang telah berhasil menuntaskan hasratnya menjejaki puncak kini berdatangan. Penuh suka cita, mereka bersegera membereskan tenda untuk perjalanan berikutnya. Kami hanya menyaksikan satu persatu orang datang kemudian pergi. Tak ubahnya kitapun terkadang hadir di kehidupan orang lain lalu kemudian pergi menyisakan kenangan. Kenangan pahit ataukah manis, kenangan indah ataukah musibah. Memang sepenuhnya bukan kita yang menentukan bahwa setiap jejak yang tertinggal di kehidupan orang lain bisa menimbulkan rasa suka atau duka, rasa rindu ataukah cemburu, rasa ingin menjadi bagian dirinya atau sekadarnya. Memang sejujurnya bukan kita yang menciptakan gurat-gurat perasaan itu di hati orang yang kita sentuh, bukan kita yang mengukir sejarah indah ataukah kelam di dalam memori orang yang kita curahkan senyuman, juga bukan kita yang secara sengaja membuat ia terangkat tinggi ke awang-awang lalu terjatuh begitu saja ketika kita harus segera melangkah pergi dari kehidupannya. Bukan, bukan kita.  Tapi si empunya hatilah yang merasakan itu semua secara sepihak. Membangun angan-angan, mengagumi diam-diam, merindu dendam sendirian.

Menjelang sore, barulah sang pemuda penuh obsesi tersebut datang menghempaskan kerilnya di dekat tendaku. Ia mendaki gunung tertinggi di pulau ini lewat sebuah situs pertemanan media sosial. Tak saling kenal sebelumnya, hanya mengikat janji untuk mendaki bersama. Namun, menurutnya kemampuan partnernya tersebut diluar ekspektasinya sehingga menyulitkannya untuk mewujudkan rencana atau cita-citanya. Teman mendakinya tersebut dinilai terlalu lemah, berjalan lambat dan tak punyai stamina yang bagus. Hingga sebuah tenda dome berdiri tak jauh dari tenda kami, datanglah beberapa orang pendaki menghampiri.

Dari rombongan pendaki yang berdatangan, satu diantaranya adalah teman si pendaki tadi. Ia akhirnya menjalani pendakian itu dengan pendaki lokal lainnya. Kamipun sekadar mengenalkan diri sebagai sesama penyuka hobi ketinggian. Pria yang juga tinggi semampai, tak terlihat lemah menurutku. Iapun masih terlihat segar ketika sampai di Sembalun. Entahlah, aku tak mau terlalu masuk ke dalam drama yang mereka ciptakan berdua. Berharap saja semoga mereka bisa lebih solid dan melakoni rencana mereka dengan baik.

Dalam sebuah perjalanan, kekompakkan tim menjadi hal paling primer. Idealnya paling tidak dalam satu tim minimal terdiri dari tiga orang. Kemudian sepakat menunjuk satu diantaranya menjadi leader. Apapun yang terjadi dalam sebuah perjalanan, patuhlah pada keputusan yang diambil. Ketua tim tentu harus mendapatkan tempat sebagai penentu perbedaan. Ketua tim seyogyanya bisa bertindak penuh perhitungan dan bijak mengambil keputusan. Ketua tim tidaklah harus yang paling tua ataupun berpengalaman, tetapi yang siap atas resiko pilihannya tanpa harus sungkan menerima masukkan dari semua anggotanya.

Tidak jarang dalam sebuah perjalanan, rencana yang disusun sedemikian matang tak dilaksanakan atau dilaksanakan tak tepat waktu. Bahkan parahnya bisa menjadi berantakkan. Disinilah peran ketua tim diperlukan. Harus ada alternatif lain atau Plan B. Tidak tergesa-gesa dalam bertindak. Apalagi mendahulukan ego dan kepentingan pribadi. Kami, sejatinya telah berbeda dari rencana yang telah kami buat. Hal tersebut dikarenakan jadwal penerbangan yang delayed, hingga kondisi tubuh yang kelelahan. Namun hingga di hari ketiga perjalanan kami, setidaknya masih dalam koridor rencana inti. Karena kami memang telah menyiapkan satu hari tak terduga dari total perjalanan ini.

Pendaki tetangga yang menjadi bagian cerita kali inipun sejatinya menjadi cerminan sebuah tim perjalanan yang belum matang. Mereka tak saling kenal lalu memutuskan untuk melakukan aktivitas pendakian. Meski sebetulnya tak terlalu masalah jika tak saling kenal, asalkan memang sudah terbiasa dengan kegiatan alam. Hingga hanya butuh waktu sedikit saja untuk saling menyesuaikan. Mereka hanya berdua untuk menjadi satu tim. Resikonya tentu saja jika salah satu dari mereka yang sakit atau cidera, maka akan sulit untuk menentukan apakah harus terus mendampingi ataukah meninggalkan untuk mencari pertolongan. Ritme perjalanan, logistik dan perlengkapan. Bahkan style pendakian pun sesungguhnya bisa menjadi faktor penentu kompak-tidakknya sebuah tim perjalanan.

Aku hanya sejenak menyaksikan. Tenda tetangga dengan romantika yang mereka ciptakan. Si pemuda berjaket outdoor hijau terlihat fasih berbincang dengan pendaki asal Luxembourg, begitu bersemangat menceritakan pengalamannya selama berada di beberapa negara eropa timur. Tak terlihat ia berbagi cerita dengan partner pendakinya yang aku ketahui berasal dari tanah jawa.

**
Puncak Rinjani. Kami menggapainya di keesokkan paginya. Kami masih bertiga. Dengan semangat yang tak redup, kami menikmati semburat jingga yang membingkai cakrawala. Meski tiupan angin begitu kencang, tak sampai mengurungkan niat kami hingga ke tanah tertinggi ini. Bertiga, akhirnya kami menuntaskan separuh perjalanan ini.

Tepat di puncak itu, kembali terlihat si pemuda yang penuh obsesi itu. Sendiri. Iya masih sendiri. Dan lebih dulu tiba ketika kami baru saja sampai. Dengan sedikit kalimat protesnya, ia katakan bahwa di tempatnya berpijaklah tepatnya tanah tertinggi. Bukan di tempat kami berpose mengabadikan sebuah pencapaian. Hanya beberapa senti sebetulnya jaraknya, namun ia begitu idealis untuk menentukan sebuah pengakuan. Aku, hanya tersenyum kecil dengan sentilannya. Memang benar, tetapi kami tak terlalu sesempurna itu dalam sebuah identitas.

Puncak gunung tercantik di negeri ini benar-benar tak ramai. Hanya ada beberap pendaki lokal, dan selebihnya pendaki dari negara lain. Dari puncak ini, sungguh tak begitu nyaman untuk berlama-lama. Tak ada tempat berlindung dari tiupan angin yang begitu kencang. Tak ada tempat berpijak yang luas untuk melakukan aktivitas. Bahkan tak ada rasa aman jika berlama-lama di tanah yang hanya bertemankan jurang yang dalam. Namun, mengapa begitu banyak orang yang terobsesi untuk menggapai puncak. Meski jalan penuh tanjakkan dengan resiko kejatuhan yang tak mudah. Meski harus menyiapkan tak sedikit materi dan juga mental yang kuat. Atau meski harus meninggalkan orang lain demi menggapai sebuah tujuan akhir, puncak. Puncak gunung, ataukah puncak pencapaian kehidupan dunia seperti karir dan juga percintaan. Tak begitu berbeda cara menempuhnya. Kadang bisa dilalui dengan kesendirian, namun bisa juga dengan kebersamaan. Kadang ditempuh dengan rencana yang demikian matang, namun bisa juga dengan tindakan yang begitu spontan. Apapun itu, ketika berhasil mencapai puncak, puncak hanya memberikan sebuah sekelumit pengakuan. Pengakuan bahwa engkau telah berada lebih tinggi dari selainmu. Saat itu. Dan sementara itu. Puncak memang memberikan engkau sebuah cara pandang yang lebih sempurna. Dimana engkau bisa memutar tiga ratus enam puluh derajat untuk menyimpulkan sebuah pandangan. Puncak seakan memberikan engkau selembar ijazah tentang kemampuanmu berada di sebuah tempat terhormat.

Namun demikian, ada baiknya menyadari sepenuh hati bahwa puncak sejatinya tak begitu mengenakkan. Tentu saja engkau harus pergi karena selainmupun akan datang dan ingin berada di tempat itu. Engkau tak mungkin berlama-lama dan mengukuhkan bahwa selainmu tak boleh berada di tempat itu. Engkau harusnya paham, bahwa puncak hanya bagian kecil dari panjangannya perjalanan. Dimana keseluruhan perjalanan itu hanya lebih banyak diwarnai dengan rasa lelah, pengorbanan, haus dahaga ataupun rasa dingin mencekam. Bahkan setelah berada di puncak, hal pertama yang harus kita lewati adalah waktunya menuruni jalan yang tak landai. Puncak hanya sebait tulisan dalam sebuah kitab kehidupan. Tak akan kekal, tak akan abadi. Keindahannya hanya karena imajinasi saat berada di tempat yang rendah dan menengadah.

Meski begitu, puncak pun tak selamanya mengerikan. Sepanjang kita menyadari dengan kerendahan hati, puncak menjadi sebuah pembuktian. Pembuktian yang memang harus terus ditadabburi agar tak terjatuh dalam kecongkakkan. Berada di puncak memang secara naluri akan membuat euforia tersendiri. Rasa tak percaya akan kemampuan diri sendiri. Rasa bangga bisa berada di tempat tertinggi. Hingga rasa rindu andaikan rasa ini berbagi sama rata dengan yang diingini. Puncak memang sulit dibahasakan, hanya segelintir orang saja yang bisa menerjemahkannya ke dalam kehidupan nyata setelah kembali ke peradaban.

**

Kami menuruni puncak dengan tenang. Benar-benar sepi jalur ini. Awalnya memang terlihat beberapa pendaki yang mencoba peruntungan untuk menggapai puncak. Namun akhirnya mereka menunda pendakian karena cuaca yang tak bersahabat. Mentari semakin meninggi. Plawangan tempat dimana tenda kami berdiri terlihat dari sini. Awan putih terlihat berada di satu sisi plawangan, seakan tak ingin menyatu karena terpisah tanah yang memanjang.

Hingga di bagian turunan yang sudah tak jauh lagi dengan lokasi camping, terlihat sesosok pemuda yang tertidur di antara buliran debu dan bebatuan. Bersendiri, pemuda itu di tengah jalan yang menyerupai parit yang tak lebar. Di antara beberapa tumbuhan kecil, bersama kesunyian ia benar-benar seperti tertidur atau mungkin pingsan di tempat yang tak seharusnya.

Kami mempercepat langkah. Berusaha untuk mencari jawaban. Apakah ia sengaja beristirahat ataukah sedang alami cidera. Semakin mendekat, semakin terasa bahwa ia sesungguhnya sedang kelelahan yang begitu berat. Kami tiba di dekatnya. Ia masih tersadar ketika kami  membangunkannya. kami berikan ia sebotol air minum, lalu bertanya apa yang sedang menimpanya. Ia katakan bahwa ia benar-benar kelelahan, entah kenapa semua menjadi gelap. Ia tak bisa melihat. Ia tak bisa lagi meneruskan perjalanan.

Kami diam sejenak untuk berikan pertolongan semampu yang kami bisa. Pemuda itu ternyata pemuda yang berbalut jaket outdoor hijau yang terlihat begitu jumawa dengan ketangguhannya. Pemuda yang hanya bersendiri menggapai puncak dengan kekuatan yang dibawanya. Pemuda yang sejak kemarin begitu superior menceritakan pengalaman ataupun staminanya. Pemuda itu kini terkapar tak berdaya. Sendiri. Di tengah jalan yang tak layak disebut sebagai jalan karena medan yang begitu tak beraturan. Sendiri di lereng gunung yang tinggi, dengan cuaca yang bisa saja mencelakakan dirinya jika tak ada yang menemukannya.

Setelah meminum beberapa teguk air. Ia kami perhatikan mulai bisa kembali duduk. Diam sejenak, lalu berusaha untuk bangkit. Awalnya aku mengira ia hanya kehausan atau sangat keletihan, hingga kami biarkan saja ia untuk mencoba kembali berdiri dan berjalan. Berjalan dengan pelan atau lebih tepatnya seperti tertatih-tatih bak seorang renta di selasar panti. Ia disorientasi jalan. Aku mengernyitkan kening. Ia tak menuju lajur yang semestinya. Ia berjalan menuju turunan yang dalam, yang terjal, yang tentu saja membahayakan. Ia seperti seorang balita yang harus diawasi ketika baru bisa belajar berjalan.

Melihat caranya berjalan, kami sarankan agar ia berhenti terlebih dahulu. Beristirahat lebih lama. Ia benar-benar tak bisa melanjutkan perjalanan.

Ia kembali duduk tak beraturan. Kami hanya menemani seraya memberika makanan kecil untuknya. Matahari semakin meninggi. Sungguh ini diluar rencana dan bisa kembali mengganggu jadwal perjalanan kami selanjutnya. Namun membantu sesama memang tak mungkin dijadwalkan kapan kita melakukannya. Seperti saat itu, kami memang harus merelakan sejenak waktu perjalanan kami untuk menemaninya.

Detik berganti detik. Aku menyarankan agar Faris sebaiknya meneruskan perjalanan menuju lokasi camping. Aku dan Edgar yang akan menemani si pemuda ini hingga ia bisa berjalan kembali. Faris menyetujuinya. Ia berlalu dan meneruskan perjalanan. Opsi ini kami ambil agar bisa menyesuaikan rencana perjalanan yang telah kami buat agar tidak terlalu meleset dari waktu yang kami atur sebelumnya. Faris membereskan tenda, dan menyiapkan makanan. Sementara aku dan Edgar masih di lereng tinggi ini berharap si pemuda segera pulih dan berjalan.

Menit meniti menit, si pemuda berbalut jaket outdoor hijau mulai bisa bangkit. Ia berjalan perlahan. Sangat perlahan. Padahal jarak menuju lokasi camping Sembalun tak begitu jauh. Namun dengan kondisinya seperti itu cukup menyita waktu perjalanan ini. Perlahan, iapun terlihat semakin membaik. Hingga sampai di lokasi camping, kami antarkan ia di tenda dan teman mendakinya.

**

Kita tinggalkan kisah di pendaki yang berbalut jaket outdoor hijau di cerita ini. Ia akhirnya melanjutkan perjalanan hingga di akhir batas pendakian. Aku, dan tim kecil ini terus melanjutkan perjalanan hingga beberapa hari ke depan. Pertemuan itu tentu saja menjadi pelajaran tersendiri dalam sebuah pergulatan pengalaman. Bahwa sejatinya tak ada kekuatan yang tak mengenal kata lemah, tak ada sehat yang tak bertemu dengan saatnya sakit, tak ada kedigdayaan yang tak bersanding dengan keruntuhan. Superioritas, kadang harus berganti imperioritas. Tak selamanya harus menjadi primus inter pares dalam sebuah kemajemukkan. Ada kalanya kita yang membantu, ada juga saatnya kita menjadi objek yang dibantu. Ada waktunya kita yang menjaga, namun bisa juga kita yang dipelihara. Masa muda memang penuh ambisi dan obsesi, namun kerendahan hati harus menjadi tuas agar tak selalu melesat terlalu laju.

Sekali lagi, selalu banyak hal yang diperoleh dalam sebuah perjalanan. Mintalah selalu kepada Yang Maha Kuasa agar setiap detik yang terlewati selalu ada ibrah yang bisa dijadikan hikmah. Sehingga ketika suatu waktu kitapun berada di titik nadir terendah, kita bisa melakukan perbaikan itu dari pengalaman-pengalaman yang sudah terlewatkan.

Terima kasih sudah membaca tulisan ini, semoga bermanfaat dan bisa berjumpa kembali di tulisan lainnya.

Wassallam.






Artikel Terkait
Comments
8 Comments

8 komentar:

  1. Puncak hanya sebait tulisan dalam sebuah kitab kehidupan. Tak akan kekal, tak akan abadi. Keindahannya hanya karena imajinasi saat berada di tempat yang rendah dan menengadah....

    Suka dengan quote ini, mengingatkan bahwa pencapaian tanpa kerendahan hati hanya akan menjungkalkan pelakunya ke jurang kepongahannya sendiri

    BalasHapus
  2. semua baris kata memiliki makna mendalam. aku suka sekali tulisan seperti ini, sepanjang apapun pasti akan kubaca sampai kalimat terakhir.

    halo kak iman, sudah lama tak bersua!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo juga mba Niken.

      Terima kasih banyak sudah membaca tulisan ini.

      Hapus
  3. Masya Allah. Teruslah berpetualang, dan menulis. Ada banyak inspirasi dan pelajaran dari setiap tulisan mas imam

    BalasHapus
  4. kemarin saya membaca kabar yang mungkin viral, 3 orang pendaki perempuan ditemukan menderita hipotermia di Bawakaraeng dan ditinggalkan oleh rombngannya yang laki2, teman macam apa mereka???

    BalasHapus
    Balasan
    1. hemmm...semoga saja berita begini ada kekeliruannya ya, perlu juga mendengar klarifikasi dari teman2 lainnya, apa benar mereka meninggalkan teman pendakiannya hingga hipo,kalau memang iya, semoga tidak terulang kembali.

      Hapus