Hari masih sore, masih ada waktu untuk menikmati kota
kembang terlebih dahulu sebelum menuju bandar udara internasional Soekarno Hatta
di Tangerang. Kisah ini adalah salah satu episode perjalanan setelah mendaki
gunung Cikuray yang berada di kabupaten Garut, Jawa Barat, bulan maret 2013
silam. Aku dan rekan mendaki saat itu, mas Rudy (Bandung), meninggalkan desa Dayeuhmanggung,
Cilawu yang menjadi desa awal pendakian kami. Perjalanan menuju kota Bandung
ternyata harus berjibaku dengan kemacetan. Maklum saja, saat itu adalah libur
akhir pekan dan juga berada di jam-jam non produktif sehingga arus lalu lintas
menjadi padat.
Gedung Sate, Bandung - Jawa Barat |
Kami hanya berdua. Sepanjang perjalanan kami lewatkan dengan
beberapa obrolan ringan. Tentang pekerjaan, kegemaran, sosial budaya, hingga
masalah keyakinan. Baiknya, aku dan mas Rudy menurut saya memiliki tipikal yang
tak jauh berbeda dalam hal keberagaman keyakinan. Obrolan kami tentang masalah
tersebut menjadi perbincangan yang searah, meski kami berbeda keyakinan. Di dalam
kendaraan mas Rudy, terdapat lagu-lagu religi yang biasa dikoleksi kaum muslim,
tetapi beliau mengungkapkan bahwa mas Rudy senang mendengar lagu Tombo Ati
karya Opick yang memang cukup populer tersebut. Senada dengan beliau, akupun
mengklaim memiliki beberapa koleksi suara Nikita, Joy Tobing hingga Maria
Shandy. Ada beberapa alasan yang tidak perlu saya tuliskan di media ini. Dan
bukti toleran dalam pertemanan lintas keyakinan seperti ini memang tak
mengharuskan memiliki koleksi yang seharusnya dimiliki oleh penganut yang
bersangkutan. Sekali lagi, ini hanya sesuatu yang memang secara tak sengaja
memiliki kesamaan persepsi diantara kami berdua. Dan kami tak mau menghabiskan
banyak energy untuk hal-hal yang hanya akan merugikan. Buatku, (dan juga
mungkin buat rekan pendaki saya saat itu), keimanan ini telah menghujam
demikian hebatnya, sehingga apapun yang menghampiri hanya akan menjadi khazanah
pengetahuan, serta sumber kekayaan dalam kedewasaan berinteraksi antar sesama
anak manusia.
Nagrek |
Ini kali ke dua saya berada di kota Bandung, kali ini, mas
Rudy menawarkan kemana saya ingin berkunjung. Dan pilihan saya adalah menuju
Gedung Sate, Bandung. Sebelumnya saya pastikan terlebih dahulu, apakah di dekat
Gedung Sate ada kulineran atau pusat jajanan, karena selain ingin melihat
langsung bangunan bersejarah tersebut, ritual isi ‘kampung tengah’ juga menjadi
acara wajib. Dan mas Rudy mengiyakan, bahwa di sekitaran Gedung Sate terdapat
taman atau area yang luas dan terdapat beberapa rumah makan hingga jajanan pinggir
jalan dengan sajian kuliner yang menjadi ciri khas kota ini.
Kami tiba di area parkir tepat di depan Gedung Sate. waktu
tiba sangat tepat dengan waktunya makan malam. Tempat ini sangat nyaman. Banyak
sekali warga dan juga wisatawan yang menghabiskan malam dengan berduduk santai
bersama keluarga dan atau teman di sekitar Gedung yang dibangun tahun 1920
tersebut. Gedung ini difungsikan sebagai kantor Gubernur Jawa Barat. Tampak di
bagian depan, halaman yang luas lengkap dengan kolam air mancur yang membuat
bangunan ini semakin tampak indah. Hanya saja sayang, saya hanya bisa
menyaksikan kemegahan arsitektur bangunan ini dari luar saja, mengintip di
balik pagar besi yang tinggi dan terkunci, khas sekali layaknya seorang rakyat jelata
yang ingin melihat tempat peristirahatan penguasanya dari kejauhan.
Selanjutnya, kami berjalan kaki mencari tempat untuk berisitirahat
dan juga makan malam. Ada banyak kuliner yang tawarkan, tetapi sekali lagi,
lidahku kategori lelet dalam mencicipi begitu beragamnya kekekayaan kuliner
negeri ini. pilihan tetap saja nasi dan lalapan. Biasanya saya memilih tempe
penyet, tapi setelah berputar-putar, saya tak melihat ada menu tersebut, dan
pilihan akhirnya saya jatuhkan ke menu pecel lele, masih kategori makanan
favorite saya.
Tempat makan ini berada di pinggir jalan. Tetapi, bukan
jalan dengan volume kendaraan yang banyak yang melintas, sehingga polusi yang
dihasilkan dari kendaraan bermotor tak terasa ketika berada di beberapa warung
pinggir jalan ini.
Setelah menikmat makan malam, masih ada waktu dan kami memilih
duduk-duduk tepat di depan Gedung yang berdiri di areal seluas 28 ribu meter
persegi ini. udara malam, jajanan tradisional, konvoi klub kendaraan roda dua,
hingga beberapa pasang makhluk bumi yang sedang memadu kebohongan terilihat
mengisi area sekitar Gedung indah ini.
Hari semakin larut, aku kembali bergegas. Mas Rudy
mengantarkan aku ke Perumahan Batununggal untuk melanjutkan perjalanan menuju
kota Jakarta. Kami berpisah. Ada begitu banyak kisah dalam setiap perjalanan. Ada
begitu banyak pelajaran dari setiap pertemuan. Dan ada begitu banyak hikmah
ketika kita mau membuka hati dan pikiran kemudian membiarkan Tuhan yang memilah
mana yang terbaik untuk kita serap dan amalkan. Dan semua hanya bisa kau
temukan ketika kau melepaskan rantai ketakutanmu, lalu meninggalkan halaman
rumah untuk menjumpai keindahan negeri ini beserta sejuta pesona perbedaan
keyakinan yang melengkapinya.
ooOoo
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar